Selepas Akhir
(kisah setelah Perang Hogwarts oleh Arabella dan Zsenya)
(kisah setelah Perang Hogwarts oleh Arabella dan Zsenya)
translator:
Daneeollie, proofreader: Mery Riansyah
Dengan banyak bantuan dari B Bennett, Elanor Gamgee,
Honeychurch, Jedi Boadicea, Lallybroch dan Moey dan banyak lagi yang lainnya….
Kami tak mungkin bisa menyebutkan siapa saja yang menyarankan apa saja saat
ini, jadi sejak awal kami setuju untuk tidak menerima semua penghargaan untuk
kami sendiri.
PERINGATAN: Cerita ini ber-rating R untuk tema dewasa, beberapa kekerasan, kerumitan, dan bahasa. Harry, Ron, dan Hermione sekarang berusia 18 tahun dan akan bertingkahlaku sesuai usianya. Dan walaupun kami sudah berusaha semampu kami untuk mendekati dunia J.K. Rowling dan canon, kami telah melewati 3 tahun dan membuat sejarah kami sendiri. Untuk itu, kami persilakan kalian untuk menikmatinya – kami yakin kalian bisa.
Expecto
Sacrificum
*
Prolog
*
Prolog
“Aku
bersumpah akan mati untukmu, Harry. Aku menyayangimu.” Suara Hermione sangat
jelas, dan lentera berkedip di tengah lingkaran di dekat kakinya. Dia memegang
erat tangan Harry yang terlihat takjub, dari raut muka Hermione terlihat bahwa
dia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Harry tahu bahwa Hermione harus
meyakininya-jika tidak mantra ini tidak akan berefek apa-apa. Tetapi mendengar
kalimat tersebut diucapkan Hermione dengan serius, memberikan efek yang lebih
kuat pada Harry daripada yang dia antisipasi.
Dengan tangannya
yang bebas, Hermione mengangkat tongkat sihirnya dan menyentuhkannya ke bekas
luka di dahi Harry. "Expecto Sacrificum." Tubuh Harry bergetar
merasakan janji Hermione berpindah melalui bekas luka terkutuknya. Saluran itu
terbentuk, dan berfungsi-dia dapat merasakan terbentuknya sihir baru di dalam
dirinya. Harry mengangguk kepada Hermione yang terlihat penuh pengharapan saat
dia kembali ke lingkaran.
Ron melangkah
maju kemudian, mata birunya menggelap. Dia menepuk pelan pundak Harry dan
menatap wajah sahabatnya itu. ”Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry. Aku
mencintaimu.” Kata-kata itu selalu ada, namun diucapkannya semua itu dengan
keras membuat shock kedua pemuda itu, dan suara Ron terdengar kasar.
Tatapan matanya, bagaimanapun, teguh dan ada kepercayaan kuat di dalamnya.
"Expecto Sacrificum," ucapnya sambil menyentuhkan tongkat
sihirnya ke bekas luka Harry. Mantra itu menyebar dan tertanam di dalam diri
Harry, dia merasakan mantra tersebut mengakar di pusat kekuatan sihirnya
sendiri. Sungguh aneh dan susah dimengerti bahwa teman-temannya mau melakukan
ini untuknya. Harry bertanya-tanya apakah dia cukup berharga untuk mendapat
perlakuan itu.
Lupin berikutnya.
Tangannya menyentuh lengan Harry dengan lembut. “Aku bersumpah akan mati
untukmu, Harry,” ucapnya pelan, raut wajahnya tak terbaca. Dia mungkin kembali
terpana dengan kemiripan Harry dengan James saat itu. ”Aku mencintaimu.”
Ekspresi di wajah Lupin agak berubah dan Harry dapat melihat air mata berlinang
di mata abu-abu gurunya itu saat dia mengangkat tongkat sihir dan menyentuhkan
ujungnya ke bekas luka Harry, yang terasa agak terbakar saat ini, dengan sihir
yang terhubung melaluinya. "Expecto Sacrificum." Lupin
menurunkan tongkat sihirnya dan melangkah diam-diam, sambil menyeka bagian
bawah matanya.
Sirius mengambil
satu langkah panjang ke depan dan memegang puncak kepala Harry, menyibakkan
rambutnya ke belakang. Wajahnya tampak penuh emosi. “Aku bersumpah akan mati
untukmu, Harry. Aku mencintaimu.” Kedua mata ayah walinya itu tak tampak hampa
sekarang. Matanya menatap Harry dengan penuh kehidupan dan setiap kata
diucapkannya sungguh-sungguh. Apa yang telah terjadi sebelumnya tidak akan
pernah terulang lagi. Dia meletakkan tongkat sihirnya di bekas luka Harry dan
menahannya di sana. Kali ini Harry merasakan kulitnya terbakar, namun dia tak
berani bergerak. Segalanya terlalu penting. "Expecto Sacrificum,"
Sirius berseru. Dengan mata masih menatap Harry, dia mundur kembali ke
lingkaran.
Ginny adalah
pendukung terakhir. Dia memberikan salah satu elemen penting yang menjadi
satu-satunya alasan Harry memperbolehkan Hermione meminta bantuan kepada Ginny
yang langsung mengiyakannya. Tetapi begitu melihatnya saat ini, Harry
bertanya-tanya mengapa dia membiarkan Ginny melakukannya. Tiba-tiba Harry ingin
berkata tidak-meneriakkannya-untuk menghentikannya melakukan sihir ini. Dia
ingin meminta mereka semuanya berhenti. Mereka tidak boleh mempertaruhkan hidup
mereka untuknya dan mereka seharusnya tidak melakukannya. Dia tidak pantas
untuk dilindungi sampai mereka mengorbankan diri seperti ini bukan? Dia
hanyalah satu orang dan mereka berlima, dia hanya seorang penyihir yang bagus
dalam Quidditch dan punya musuh; ya, dia mungkin Sang Bocah yang Hidup, namun
segalanya menjadi tidak berarti jika teman-temannya tidak bisa hidup. Mereka adalah
keluarganya saat ini. Keluarga intinya pernah melakukan hal yang sama untuknya
dan sekarang mereka telah tiada.
Dengan panik
Harry mengangkat tangannya untuk menahan Ginny dan hendak membuka mulut untuk
protes. Namun Ginny menangkap jemari Harry dengan tongkat sihir dan
menggelengkan kepalanya dengan cepat, menatapnya dengan intens, membuat Harry
menutup mulutnya kembali tanpa sempat berucap apa-apa. Dia tidak boleh
berbicara. Dia tidak boleh menghalangi. Mereka sudah berdebat mengenai hal ini
dan pada akhirnya Harry setuju untuk membiarkan terciptanya mantra ini. Tidak
ada jalan lain.
Puas dengan
terdiamnya Harry, Ginny menyentuh pipi Harry dengan tangannya yang bebas dan
menatap wajahnya, “Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry.” Suaranya pelan, namun
setiap kata terucap dengan jelas. “Aku mencintaimu.” Nada suara bisikan Ginny
membuat Harry gemetar. Setiap orang di lingkaran menahan napas, tetapi Ginny
tidak mengalihkan pandangannya dari mata Harry. Dengan melepaskan tangan Harry
yang menghalanginya dan sambil tetap memegang wajah Harry, Ginny mengangkat
tongkat sihirnya untuk menyentuh bekas luka Harry. "Expecto Sacrificum."
Harry sedikit tersentak dengan sentuhan itu. Sihir yang datang melalui bekas
luka terkutuk di dahinya sangat kuat, dan sekarang terasa menyakitkan. Ada
denyutan di bawah tongkat sihir Ginny, dan yang bisa dilakukan Harry hanyalah
berdiri diam. Dia harus melakukannya.
Tanpa suara Ginny
melepaskan tongkat sihirnya dari bekas luka Harry dan kembali ke lingkaran,
meninggalkan Harry di tengah lingkaran. Mantra baru yang telah terbentuk terasa
mengalir dalam diri Harry, dari dahinya hingga ke ujung kaki. Setiap inci tubuh
Harry terisi oleh mantra, dan sihir ini merasuk hingga ke tulang-tulangnya.
Sangat jelas orang-orang terdekat Harry bersungguh-sungguh dengan apa yang
mereka ucapkan kepadanya. Dan jika dia menghadapi Voldemort dengan semua ini…
dan mungkin...
Harry
mencengkeramkan jemarinya pada tongkat sihirnya dan membayangkan kata-kata di
kepalanya. ”Expecto Sacrificum!” Harry sangat terkejut ketika sesuatu
yang panas dan berat berpijar melalui tangannya dan percikan meluncur dari
tongkat sihirnya. Dia melompat dan menatapnya. Dia bahkan tak mampu berkata
apa-apa.
Lentera di tengah
lingkaran menerangi wajah kelima orang dalam lingkaran dan Harry menatap mereka
dengan heran. Dia ingin berterima kasih kepada mereka, namun dia tak mampu
bersuara. Dia tahu bahwa mereka melakukan semuanya bukan hanya untuknya, ini
untuk dunia, untuk setiap orang yang menderita selama Voldemort tetap berkuasa.
Segalanya memang dilakukan melalui diri Harry dan ini hanya bisa terjadi karena
seluruh teman-temannya memang berharap banyak padanya.
Diam-diam Harry
membuka tangannya. “Aku…,” dia memulai, “Aku tidak bisa…”
Namun perkataan
Harry sia-sia. Sekejap kemudian, dari segala sisi, dia dikelilingi dari segala sisi oleh
semua orang di dalam ruangan, dalam sebuah pelukan yang melindungi. Seseorang
menendang lentera yang kemudian padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan,
namun tidak seorang pun bergerak untuk memperbaikinya. Apakah mantra ini
berhasil atau ini terakhir kalinya mereka berdiri bersama-sama, mereka semua
mengetahuinya.
Harry menutup
mata dan menyandarkan kepalanya erat-erat ke pundak terdekat, menarik napas
berat dan menghembuskannya perlahan.
Ini sebaiknya
berhasil....
* * *
“Harry?”
Harry duduk di
tangga pintu masuk Hogwarts, menatap ke arah danau. Saat ini musim panas yang
indah. Hogwarts separuh roboh di belakangnya, namun danaunya bersinar, terlihat
jelas di bawah sinar cerah matahari bulan Juni.
“Ayo, Harry, kami
semua siap berangkat jika kamu juga siap.”
Semua masih tetap
terasa seperti mimpi. Hanya seminggu yang lalu, di hari kelulusan, perang
terjadi di Hogwarts. Hanya seminggu yang lalu masih ada seorang Voldermort yang
ingin menghancurkan Harry. Dan sekarang semuanya tenang.
“Hei, apa yang
membuatmu sangat lam-dasar, apakah dia masih duduk di luar sana? Harry, ayolah,
aku lapar, Aku ingin pergi dari sini.”
Tetapi ini bukan
kedinginan itu, keheningan mengerikan-yang mereka semua pergunjingkan dalam
beberapa tahun terakhir. Bukan diam menunggu dalam ketakutan, bukan yang buruk,
kesunyian akan ketakutan kematian yang lain. Hanya kedamaian.
“Ssh, biarkan
saja dia. Di mana Ginny?”
“Mengucapkan
selamat tinggal pada kamarnya.”
“Oh.” Hermione
sedikit tersedu. "Koperku ada di dekat perapian, bagaimana dengan
milikmu?”
“Aku akan
menyiapkannya beberapa menit lagi.”
“Kupikir kau
bilang sudah siap. Baiklah, ambil kopermu sekarang. Akan kuajak Harry ke
dalam.”
Sekilas angin
dingin bertiup. Bunyi pepohonan berdesir terdengar di Hutan Terlarang, dan
suara beberapa mahkluk aneh yang bernyanyi di sana-bukan burung, bukan mamalia.
Hagrid pasti tahu mahkluk apa itu. Harry menunduk. Setidaknya ini sudah
berakhir, dia berkata pada dirinya sendiri.
“Harry, aku ke
dalam. Masuklah jika kau siap, kita akan pergi dengan bubuk Floo melalui
perapian di Ruang Rekreasi. Professor McGonagall bilang bahwa jalur Floo
seharusnya sudah terbuka sekarang.” Hermione berhenti. “Kurasa aku akan meminta
Ron untuk membawa turun kopermu, bagaimana?”
Harry hanya
mengangguk dalam diam dan menatap halaman rumput di hadapannya, air mata
mengambang di pelupuk matanya. Dia tak pernah ingin terlihat cengeng, namun untuk
kali ini dia tidak menahannya. Kali ini dia sedang sendirian. Harry menaikkan
kacamatanya dan mengerjapkan mata, memfokuskan pandangan pada surat yang
dibawanya. Itu adalah surat yang bagus. Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,
dan rasa terkejutnya bahkan belum hilang.
Harry tersayang,
Tentu kamu akan membawa Ron, Hermione,
dan Ginny. Kami berharap bahwa kamu akan datang, dan ada lebih dari cukup ruang
untuk kalian semua, walaupun setiap dua orang anak harus berbagi satu ruangan.
Remus dan aku menanti kedatanganmu. Kemarilah secepat kamu bisa.
Kamu tahu bahwa aku sangsi apakah aku
bisa melakukan tugas sebagai ayah walimu. Namun, Harry, aku akan berusaha, dan
ini akan menjadi seperti yang seharusnya terjadi sejak lama. Aku berjanji
padamu.
Yang tidak sabar menantimu
– Sirius
Harry menatap
surat tersebut untuk waktu yang lama. Dia akan menghabiskan musim panas-seluruh
musim panas-bersama teman-temannya. Dan sudah tidak ada lagi bahaya, tidak ada
ancaman kegelapan di kepalanya, tidak ada Draco Malfoy musim gugur berikutnya,
tidak ada Pelahap Maut, tidak ada keluarga Dursley.
Ada sedikit rasa
sakit di dalam diri Harry-sebagian kegembiraan, sebagian kehampaan. Setelah
semuanya yang terjadi, kehidupannya berlanjut. Ini masih musim panas. Danaunya menyilaukan.
Hogwarts sudah berlalu. Dia sudah lulus.
"Harry?"
Dia berbalik ke
arah datangnya suara lembut itu. Sosok bertubuh langsing semampai dan rambut
merah tersebut menyusul duduk di belakangnya. “Apakah kamu sudah siap?”
“Haruskah?”
Ginny meletakkan
dagunya di lutut dan mendesah mendengar pertanyaan itu. Harry melihat matanya
bengkak memerah.
“Tidak. Tentu
saja kamu tidak harus siap,” jawabnya pelan.
“Aku tidak siap.”
“Tetapi kita
harus pergi.”
“Ya.”
Keduanya terdiam
dan Harry melihat melewati Ginny, menengadah ke arah lapangan Quidditch.
“Segalanya berakhir,” dia bergumam, tidak yakin kenapa mendadak dia merasakan
kepahitan.
“Tidak. Beberapa
hal tidak berakhir.”
Harry melihat ke
Ginny dengan cepat-mata mereka bertatapan beberapa saat, dan kemudian keduanya
mengalihkan pandangan.
“Kata Ron kau
mengucapkan selamat tinggal pada kamarmu.”
”Ya, aku sudah
melakukannya. Dia menemuiku dan memintaku untuk berhenti berbicara pada diriku
sendiri lalu dia menuju asrama anak laki-laki untuk membawa turun kopermu
dengan bantuan mantra.”
Harry tersenyum.
Itu khas Ron sekali.
“Jadi semua orang
sudah menunggu, ya?”
“Ya, Hermione
mengatakan untuk tidak memburu-burumu. Tetapi sudah tiba waktunya, Harry.
Sirius akan bertanya-tanya apa yang terjadi pada kita.”
“Aku berharap
dapat membawa Fawkes bersama kita.”
“Segera. Dia akan
baik-baik saja dan kamu bisa membawa Hedwig”
”Ya, aku rasa
sebaiknya kita melakukannya.”
”Ya.”
Harry dan Ginny
sama-sama berdiri, membersihkan jubah hitam sekolah mereka dan menatap halaman
sekali lagi. Harry menarik napas panjang, berbalik, dan berjalan di belakang
Ginny. Mereka sedang menuju kastil ketika Harry berkesempatan melihat ke atas.
Matanya menatap menara yang pernah ditempati Dumbledore. Jendela di ruang
kepala sekolah yang kosong itu berkilau terkena pantulan sinar matahari.
Spontan Harry
mengangkat tangannya untuk melakukan penghormatan. Jendela itu seperti
berkedip. Lalu dia mengikuti Ginny menuju Aula besar, dimana Ron dan Hermione
sudah menunggu mereka. Ini akan menjadi musim panas yang sebenarnya dalam
hidupnya.
***
A/N: Terima kasih untuk semua yang telah mereview dan
tidak pernah takut; perhatian yang kalian ungkapkan semuanya akan ditambahkan
selama cerita ini berlanjut untuk diselesaikan! Dan terima kasih untuk para
Auror tercinta kami, Cap'n Kathy dan Moey. Kami tidak percaya kalian
benar-benar membuat milis (http://groups.yahoo.com/group/AftertheEnd) untuk
cerita ini dan kami harap kita akan melakukan diskusi yang berharga.
ini semacam fanfiction ya kak? Good job, translasinya enak dibaca ko
BalasHapusIya, ini terjemahan ff harpot yg aq suka..smbil belajar nerjemahin sih...
Hapusdoakan lanjut lagi bab-bab selanjutnya ya, Mastez :D