Senin, 26 Desember 2011

Selepas Akhir | Prolog

Selepas Akhir
(kisah setelah Perang Hogwarts oleh Arabella dan Zsenya)
translator: Daneeollie, proofreader: Mery Riansyah

Dengan banyak bantuan dari B Bennett, Elanor Gamgee, Honeychurch, Jedi Boadicea, Lallybroch dan Moey dan banyak lagi yang lainnya…. Kami tak mungkin bisa menyebutkan siapa saja yang menyarankan apa saja saat ini, jadi sejak awal kami setuju untuk tidak menerima semua penghargaan untuk kami sendiri.

PERINGATAN: Cerita ini ber-rating R untuk tema dewasa, beberapa kekerasan, kerumitan, dan bahasa. Harry, Ron, dan Hermione sekarang berusia 18 tahun dan akan bertingkahlaku sesuai usianya. Dan walaupun kami sudah berusaha semampu kami untuk mendekati dunia J.K. Rowling dan canon, kami telah melewati 3 tahun dan membuat sejarah kami sendiri. Untuk itu, kami persilakan kalian untuk menikmatinya – kami yakin kalian bisa.
 Expecto Sacrificum
*
Prolog

“Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry. Aku menyayangimu.” Suara Hermione sangat jelas, dan lentera berkedip di tengah lingkaran di dekat kakinya. Dia memegang erat tangan Harry yang terlihat takjub, dari raut muka Hermione terlihat bahwa dia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Harry tahu bahwa Hermione harus meyakininya-jika tidak mantra ini tidak akan berefek apa-apa. Tetapi mendengar kalimat tersebut diucapkan Hermione dengan serius, memberikan efek yang lebih kuat pada Harry daripada yang dia antisipasi.
Dengan tangannya yang bebas, Hermione mengangkat tongkat sihirnya dan menyentuhkannya ke bekas luka di dahi Harry. "Expecto Sacrificum." Tubuh Harry bergetar merasakan janji Hermione berpindah melalui bekas luka terkutuknya. Saluran itu terbentuk, dan berfungsi-dia dapat merasakan terbentuknya sihir baru di dalam dirinya. Harry mengangguk kepada Hermione yang terlihat penuh pengharapan saat dia kembali ke lingkaran.
Ron melangkah maju kemudian, mata birunya menggelap. Dia menepuk pelan pundak Harry dan menatap wajah sahabatnya itu. ”Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry. Aku mencintaimu.” Kata-kata itu selalu ada, namun diucapkannya semua itu dengan keras membuat shock kedua pemuda itu, dan suara Ron terdengar kasar. Tatapan matanya, bagaimanapun, teguh dan ada kepercayaan kuat di dalamnya. "Expecto Sacrificum," ucapnya sambil menyentuhkan tongkat sihirnya ke bekas luka Harry. Mantra itu menyebar dan tertanam di dalam diri Harry, dia merasakan mantra tersebut mengakar di pusat kekuatan sihirnya sendiri. Sungguh aneh dan susah dimengerti bahwa teman-temannya mau melakukan ini untuknya. Harry bertanya-tanya apakah dia cukup berharga untuk mendapat perlakuan itu.
Lupin berikutnya. Tangannya menyentuh lengan Harry dengan lembut. “Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry,” ucapnya pelan, raut wajahnya tak terbaca. Dia mungkin kembali terpana dengan kemiripan Harry dengan James saat itu. ”Aku mencintaimu.” Ekspresi di wajah Lupin agak berubah dan Harry dapat melihat air mata berlinang di mata abu-abu gurunya itu saat dia mengangkat tongkat sihir dan menyentuhkan ujungnya ke bekas luka Harry, yang terasa agak terbakar saat ini, dengan sihir yang terhubung melaluinya. "Expecto Sacrificum." Lupin menurunkan tongkat sihirnya dan melangkah diam-diam, sambil menyeka bagian bawah matanya.
Sirius mengambil satu langkah panjang ke depan dan memegang puncak kepala Harry, menyibakkan rambutnya ke belakang. Wajahnya tampak penuh emosi. “Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry. Aku mencintaimu.” Kedua mata ayah walinya itu tak tampak hampa sekarang. Matanya menatap Harry dengan penuh kehidupan dan setiap kata diucapkannya sungguh-sungguh. Apa yang telah terjadi sebelumnya tidak akan pernah terulang lagi. Dia meletakkan tongkat sihirnya di bekas luka Harry dan menahannya di sana. Kali ini Harry merasakan kulitnya terbakar, namun dia tak berani bergerak. Segalanya terlalu penting. "Expecto Sacrificum," Sirius berseru. Dengan mata masih menatap Harry, dia mundur kembali ke lingkaran.
Ginny adalah pendukung terakhir. Dia memberikan salah satu elemen penting yang menjadi satu-satunya alasan Harry memperbolehkan Hermione meminta bantuan kepada Ginny yang langsung mengiyakannya. Tetapi begitu melihatnya saat ini, Harry bertanya-tanya mengapa dia membiarkan Ginny melakukannya. Tiba-tiba Harry ingin berkata tidak-meneriakkannya-untuk menghentikannya melakukan sihir ini. Dia ingin meminta mereka semuanya berhenti. Mereka tidak boleh mempertaruhkan hidup mereka untuknya dan mereka seharusnya tidak melakukannya. Dia tidak pantas untuk dilindungi sampai mereka mengorbankan diri seperti ini bukan? Dia hanyalah satu orang dan mereka berlima, dia hanya seorang penyihir yang bagus dalam Quidditch dan punya musuh; ya, dia mungkin Sang Bocah yang Hidup, namun segalanya menjadi tidak berarti jika teman-temannya tidak bisa hidup. Mereka adalah keluarganya saat ini. Keluarga intinya pernah melakukan hal yang sama untuknya dan sekarang mereka telah tiada.
Dengan panik Harry mengangkat tangannya untuk menahan Ginny dan hendak membuka mulut untuk protes. Namun Ginny menangkap jemari Harry dengan tongkat sihir dan menggelengkan kepalanya dengan cepat, menatapnya dengan intens, membuat Harry menutup mulutnya kembali tanpa sempat berucap apa-apa. Dia tidak boleh berbicara. Dia tidak boleh menghalangi. Mereka sudah berdebat mengenai hal ini dan pada akhirnya Harry setuju untuk membiarkan terciptanya mantra ini. Tidak ada jalan lain.
Puas dengan terdiamnya Harry, Ginny menyentuh pipi Harry dengan tangannya yang bebas dan menatap wajahnya, “Aku bersumpah akan mati untukmu, Harry.” Suaranya pelan, namun setiap kata terucap dengan jelas. “Aku mencintaimu.” Nada suara bisikan Ginny membuat Harry gemetar. Setiap orang di lingkaran menahan napas, tetapi Ginny tidak mengalihkan pandangannya dari mata Harry. Dengan melepaskan tangan Harry yang menghalanginya dan sambil tetap memegang wajah Harry, Ginny mengangkat tongkat sihirnya untuk menyentuh bekas luka Harry. "Expecto Sacrificum." Harry sedikit tersentak dengan sentuhan itu. Sihir yang datang melalui bekas luka terkutuk di dahinya sangat kuat, dan sekarang terasa menyakitkan. Ada denyutan di bawah tongkat sihir Ginny, dan yang bisa dilakukan Harry hanyalah berdiri diam. Dia harus melakukannya.
Tanpa suara Ginny melepaskan tongkat sihirnya dari bekas luka Harry dan kembali ke lingkaran, meninggalkan Harry di tengah lingkaran. Mantra baru yang telah terbentuk terasa mengalir dalam diri Harry, dari dahinya hingga ke ujung kaki. Setiap inci tubuh Harry terisi oleh mantra, dan sihir ini merasuk hingga ke tulang-tulangnya. Sangat jelas orang-orang terdekat Harry bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka ucapkan kepadanya. Dan jika dia menghadapi Voldemort dengan semua ini… dan mungkin...
Harry mencengkeramkan jemarinya pada tongkat sihirnya dan membayangkan kata-kata di kepalanya. ”Expecto Sacrificum!” Harry sangat terkejut ketika sesuatu yang panas dan berat berpijar melalui tangannya dan percikan meluncur dari tongkat sihirnya. Dia melompat dan menatapnya. Dia bahkan tak mampu berkata apa-apa.
Lentera di tengah lingkaran menerangi wajah kelima orang dalam lingkaran dan Harry menatap mereka dengan heran. Dia ingin berterima kasih kepada mereka, namun dia tak mampu bersuara. Dia tahu bahwa mereka melakukan semuanya bukan hanya untuknya, ini untuk dunia, untuk setiap orang yang menderita selama Voldemort tetap berkuasa. Segalanya memang dilakukan melalui diri Harry dan ini hanya bisa terjadi karena seluruh teman-temannya memang berharap banyak padanya.
Diam-diam Harry membuka tangannya. “Aku…,” dia memulai, “Aku tidak bisa…”
Namun perkataan Harry sia-sia. Sekejap kemudian, dari segala sisi, dia dikelilingi dari segala sisi oleh semua orang di dalam ruangan, dalam sebuah pelukan yang melindungi. Seseorang menendang lentera yang kemudian padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan, namun tidak seorang pun bergerak untuk memperbaikinya. Apakah mantra ini berhasil atau ini terakhir kalinya mereka berdiri bersama-sama, mereka semua mengetahuinya.
Harry menutup mata dan menyandarkan kepalanya erat-erat ke pundak terdekat, menarik napas berat dan menghembuskannya perlahan.
Ini sebaiknya berhasil....

* * *

“Harry?”
Harry duduk di tangga pintu masuk Hogwarts, menatap ke arah danau. Saat ini musim panas yang indah. Hogwarts separuh roboh di belakangnya, namun danaunya bersinar, terlihat jelas di bawah sinar cerah matahari bulan Juni.
“Ayo, Harry, kami semua siap berangkat jika kamu juga siap.”
Semua masih tetap terasa seperti mimpi. Hanya seminggu yang lalu, di hari kelulusan, perang terjadi di Hogwarts. Hanya seminggu yang lalu masih ada seorang Voldermort yang ingin menghancurkan Harry. Dan sekarang semuanya tenang.
“Hei, apa yang membuatmu sangat lam-dasar, apakah dia masih duduk di luar sana? Harry, ayolah, aku lapar, Aku ingin pergi dari sini.”
Tetapi ini bukan kedinginan itu, keheningan mengerikan-yang mereka semua pergunjingkan dalam beberapa tahun terakhir. Bukan diam menunggu dalam ketakutan, bukan yang buruk, kesunyian akan ketakutan kematian yang lain. Hanya kedamaian.
“Ssh, biarkan saja dia. Di mana Ginny?”
“Mengucapkan selamat tinggal pada kamarnya.”
“Oh.” Hermione sedikit tersedu. "Koperku ada di dekat perapian, bagaimana dengan milikmu?”
“Aku akan menyiapkannya beberapa menit lagi.”
“Kupikir kau bilang sudah siap. Baiklah, ambil kopermu sekarang. Akan kuajak Harry ke dalam.”
Sekilas angin dingin bertiup. Bunyi pepohonan berdesir terdengar di Hutan Terlarang, dan suara beberapa mahkluk aneh yang bernyanyi di sana-bukan burung, bukan mamalia. Hagrid pasti tahu mahkluk apa itu. Harry menunduk. Setidaknya ini sudah berakhir, dia berkata pada dirinya sendiri.
“Harry, aku ke dalam. Masuklah jika kau siap, kita akan pergi dengan bubuk Floo melalui perapian di Ruang Rekreasi. Professor McGonagall bilang bahwa jalur Floo seharusnya sudah terbuka sekarang.” Hermione berhenti. “Kurasa aku akan meminta Ron untuk membawa turun kopermu, bagaimana?”
Harry hanya mengangguk dalam diam dan menatap halaman rumput di hadapannya, air mata mengambang di pelupuk matanya. Dia tak pernah ingin terlihat cengeng, namun untuk kali ini dia tidak menahannya. Kali ini dia sedang sendirian. Harry menaikkan kacamatanya dan mengerjapkan mata, memfokuskan pandangan pada surat yang dibawanya. Itu adalah surat yang bagus. Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, dan rasa terkejutnya bahkan belum hilang.

Harry tersayang,
Tentu kamu akan membawa Ron, Hermione, dan Ginny. Kami berharap bahwa kamu akan datang, dan ada lebih dari cukup ruang untuk kalian semua, walaupun setiap dua orang anak harus berbagi satu ruangan. Remus dan aku menanti kedatanganmu. Kemarilah secepat kamu bisa.
Kamu tahu bahwa aku sangsi apakah aku bisa melakukan tugas sebagai ayah walimu. Namun, Harry, aku akan berusaha, dan ini akan menjadi seperti yang seharusnya terjadi sejak lama. Aku berjanji padamu.
Yang tidak sabar menantimu
– Sirius

Harry menatap surat tersebut untuk waktu yang lama. Dia akan menghabiskan musim panas-seluruh musim panas-bersama teman-temannya. Dan sudah tidak ada lagi bahaya, tidak ada ancaman kegelapan di kepalanya, tidak ada Draco Malfoy musim gugur berikutnya, tidak ada Pelahap Maut, tidak ada keluarga Dursley.
Ada sedikit rasa sakit di dalam diri Harry-sebagian kegembiraan, sebagian kehampaan. Setelah semuanya yang terjadi, kehidupannya berlanjut. Ini masih musim panas. Danaunya menyilaukan. Hogwarts sudah berlalu. Dia sudah lulus.
"Harry?"
Dia berbalik ke arah datangnya suara lembut itu. Sosok bertubuh langsing semampai dan rambut merah tersebut menyusul duduk di belakangnya. “Apakah kamu sudah siap?”
“Haruskah?”
Ginny meletakkan dagunya di lutut dan mendesah mendengar pertanyaan itu. Harry melihat matanya bengkak memerah.
“Tidak. Tentu saja kamu tidak harus siap,” jawabnya pelan.
“Aku tidak siap.”
“Tetapi kita harus pergi.”
“Ya.”
Keduanya terdiam dan Harry melihat melewati Ginny, menengadah ke arah lapangan Quidditch. “Segalanya berakhir,” dia bergumam, tidak yakin kenapa mendadak dia merasakan kepahitan.
“Tidak. Beberapa hal tidak berakhir.”
Harry melihat ke Ginny dengan cepat-mata mereka bertatapan beberapa saat, dan kemudian keduanya mengalihkan pandangan.
“Kata Ron kau mengucapkan selamat tinggal pada kamarmu.”
”Ya, aku sudah melakukannya. Dia menemuiku dan memintaku untuk berhenti berbicara pada diriku sendiri lalu dia menuju asrama anak laki-laki untuk membawa turun kopermu dengan bantuan mantra.”
Harry tersenyum. Itu khas Ron sekali.
“Jadi semua orang sudah menunggu, ya?”
“Ya, Hermione mengatakan untuk tidak memburu-burumu. Tetapi sudah tiba waktunya, Harry. Sirius akan bertanya-tanya apa yang terjadi pada kita.”
“Aku berharap dapat membawa Fawkes bersama kita.”
“Segera. Dia akan baik-baik saja dan kamu bisa membawa Hedwig”
”Ya, aku rasa sebaiknya kita melakukannya.”
”Ya.”
Harry dan Ginny sama-sama berdiri, membersihkan jubah hitam sekolah mereka dan menatap halaman sekali lagi. Harry menarik napas panjang, berbalik, dan berjalan di belakang Ginny. Mereka sedang menuju kastil ketika Harry berkesempatan melihat ke atas. Matanya menatap menara yang pernah ditempati Dumbledore. Jendela di ruang kepala sekolah yang kosong itu berkilau terkena pantulan sinar matahari.
Spontan Harry mengangkat tangannya untuk melakukan penghormatan. Jendela itu seperti berkedip. Lalu dia mengikuti Ginny menuju Aula besar, dimana Ron dan Hermione sudah menunggu mereka. Ini akan menjadi musim panas yang sebenarnya dalam hidupnya.

***

A/N: Terima kasih untuk semua yang telah mereview dan tidak pernah takut; perhatian yang kalian ungkapkan semuanya akan ditambahkan selama cerita ini berlanjut untuk diselesaikan! Dan terima kasih untuk para Auror tercinta kami, Cap'n Kathy dan Moey. Kami tidak percaya kalian benar-benar membuat milis (http://groups.yahoo.com/group/AftertheEnd) untuk cerita ini dan kami harap kita akan melakukan diskusi yang berharga.

2 komentar:

  1. ini semacam fanfiction ya kak? Good job, translasinya enak dibaca ko

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ini terjemahan ff harpot yg aq suka..smbil belajar nerjemahin sih...
      doakan lanjut lagi bab-bab selanjutnya ya, Mastez :D

      Hapus

 
Rumah Cerita - Blogger Templates, - by Templates para novo blogger Displayed on lasik Singapore eye clinic.