“Legato di bar keenam belas,” suara pak Tony
mengingatkanku tanpa beliau perlu berpaling dari tuts-tuts keyboard yang sedang
dimainkannya. Bow yang sedang kupegang di tangan kananku sedikit goyah dan
menggesek bridge dengan suara yang membuatku mengernyitkan alis. Terlambat,
pikirku mangkel. Bar keenam belas sudah berlalu satu setengah detik yang lalu.
Pertama kalinya aku mendengar istilah legato
adalah saat aku berumur tujuh tahun. Yasmin berdiri di hadapanku sambil
mengacung-acungkan bow yang dipegangnya dengan sembarangan. Aku mengernyit dan
segera mencondongkan badanku beberapa senti ke belakang, menghindari sabetan
bow Yasmin.
“Jadi Rosa,” katanya sok tahu dengan nada menggurui
yang sangat mirip Bu Yeti, guru musik kami di sekolah. “Kalau dua atau lebih
not diesek ke satu arah yag sama, itu dinamakan legato. Nada-nada
tersebut bisa ada di senar yang sama atau berbeda, namun jika kau menggeseknya
satu arah, itu tetap legato namanya.”
Yasmin mengengguk meyakinkan di akhir pidato
singkatnya, membuat rambut ikal sebahunya yang dikuncir dua memantul-mantul di
pundaknya. Aku mencoba memasang wajah tanpa ekspresi karena aku tahu bahwa
alternatif yang satunya—memasang tampang bosan—justru akan membuat Yasmin makin
kesal.
Sejujurnya aku tidak mengerti kenapa Yasmin
terus-menerus repot-repot bersikeras mengulang pidato guru biolanya padaku. Aku
toh tak pernah benar-benar mendengarkan, dan Yasmin tahu benar hal ini. Dugaanku
mungkin dia merasa sudah kewajibanya sebagai juru bicara tidak resmi di antara
kami untuk mengisi kesunyian yang sering kali kutimbulkan. Masalah juru bicara
ini sampai sekarang masih membuatku geli. Kejadiannya saat kami berdua berumur
lima tahun, dan setiap kali orang-orang menanyakan sesuatu pada kami hal-hal
remeh seperti “Ih lucunya anak kembar. Nama kalian siapa?”, Yasmin selalu
menjawab “Aku Yasmin. Ini soaudaraku Rosa” untuk kami. Aku memang lebih banyak
diam. Dan setelahnya entah bagaimana Yasminlah yang selalu bicara atas nama
kami berdua.
“...sebenarnya mendengarkan tidak sih Rosa?”
Suara kesal Yasmin menusukku, seketika mengembalikan
tatapanku ke arah wajah yang persis sama dengan yang wajah yang kutatap tiap
pagi di cermin. Yah, meski bayanganku di cermin tidak secerewet Yasmin, pikirku
geli.
Aku kembali memasang wajah tanpa ekspresi andalanku ke
Yasmin selama sedetik sebelum berdiri, mencomot asal-asalan celemek hitam yang
tersampir di punggung kursiku, dan berjalan beberapa langkah menghampiri easelku
di ujung balkon.
Aku hanya mendengar dengus kesal Yasmin saat aku
meraih palette dan kuasku.
*
Yasmin tampil pertama kali memainkan biolanya setahun
kemudian di aula sekolah saat perayaan hari kemerdekaan. Pita dan balon-balon warna
merah putih menghiasi tiap sudut panggung. Dia memakai gaun terusan selutut
yang mengembang dan berimpel dengan sebuah bando warna pink menghiasi rambutnya.
Bibirnya yang dibubuhi lipstik oleh mama tertarik membentuk senyum puas selama
dia memainkan Minuett. Mau tak mau aku merasakan sudut-sudut bibirku ikut
tertarik ke atas, tersenyum bangga.
*
“Apa kau sudah berlatih di rumah?” Pak Tony bertanya
pada awal pertemuanku hari berikutnya.
Aku mengendikkan bahu, tak yakin apakah latihan
asal-asalanku selama dua puluh menit di beranda tadi malam bisa disebut
latihan.
Pak Tony menghela napas panjang.
Aku langsung dihinggapi rasa bersalah. Sudah dua
minggu aku berlatih Air in G versi Violin I gubahan Johann
Sebastian Bach dengan hasil yang tidak memuaskan. Pak Tony menginginkan
sebuah duet saat beliau mengiringiku dengan versi Violin II, namun
permainan biolaku yang pas-pasan belum bisa mengimbangi kesempurnaan
gesekannya. Bukan hal yang mengagetkan memang. Namun dalam hati aku agak merasa
bahwa pak Tony menuntut terlalu banyak dariku.
Aku bisa membayangkan reaksi Yasmin mendengar hal ini.
Dia pasti akan menggelengkan kepala geli sambil berdecak pura-pura kecewa
sambil berkata “ya ampun, Rosa, masa Air in G saja tidak bisa. Itu kan
gampang banget. Coba waktu itu kau mau kubujuk latihan bareng, pasti sekarang
kau sudah bisa berduet.”
Dahiku langsung berkerut hanya dengan membayangkannya
saja. Tentu saja Yasmin akan bilang begitu. Dia pernah tampil di lomba musik
klasik dan memainkan lagu itu dengan sempurna pada umur sebelas tahun.
“Dua setengah ketukan, Rosa. Kau terlalu cepat. Tadi
baru dua ketukan kau sudah pindah ke nada berikutnya. Ulangi.”
Ups.
Teguran pak Tony yang tepat sasaran membuatku berhenti
menggesek senar dan nyengir malu-malu. Aku memang sedikit kesulitan memainkan
versi Violin I, tidak seperti saat aku memainkan versi Violin II
yang menurutku lumayan gampang.
“Siap?” Tanya pak Tony.
Aku mengangguk.
Nada pertama sembilan ketukan. Aku mengingatkan diri
sendiri dan mulai bermain.
*
Sore itu sehabis kursus privat biolaku, aku merebahkan
diri di kasurku, mendesah lega, setelah menyandarkan biolaku ke tembok di balik
stand partiturku. Biola Yasmin bersandar tepat di samping biolaku. Aku
tersenyum getir. Tentu saja aku takkan bisa bermain sehebat Yasmin.
Setahun yang lalu, saat kami berdua berumur enam belas
tahun, Yasmin menonton video pemecahan rekor permainan biola tercepat oleh
idolanya David Garret yang memainkan Flight of the Bumblebee.
Lagi itu memang legendaris sebagai sarana pemecahan rekor permainan biola
tercepat. Ini membuat Yasmin menemukan ambisi baru untuk memainkan Flight of
the Bumblebee dalam jangka waktu kurang dari satu menit.
Aku sempat melotot kaget saat pertama kali
mendengarnya dan langsung skeptis. Setalah itu berkali-kali aku mencibir dan
mengejeknya bahwa boleh saja dia latihan sampai jari-jarinya kapalan selama dua
puluh tahun, namun dia tidak akan bisa bermain seperti si David.
Yasmin, sementara itu, bukannya mengkeret, malah
semakin gencar berlatih. Dia tak pernah putus asa dan bahkan berlatih biola
hingga lebih dari enam jam sehari. Saat aku sedang pusing mengerjakan PR,
Yasmin berlatih biola; saat aku ingin tidur siang pada hari minggu, Yasmin juga
berlatih biola; dan saat aku Cuma ingin menonton TV dengan tenang di suatu
sore, lagi-lagi Yasmin dan biola menyebalkannya mengganggu dengan berisik.
Beberapa kali aku bahkan sampai terpaksa mengungsi ke sofa ruang tengah hanya
untuk bisa tidur. Jelas ini membuatku jengkel. Kami sempat bertengkar selama
seminggu, minggu teraneh sepanjang hidupku.
Tiga hari setelah kami baikan, kaki kiri Yasmin
terkilir saat pelajaran olahraga di sekolah, membuatnya bengkak dengan warna
ungu mengerikan. Meski saat itu Yasmin berkilah “paling tidak yang bengkak cuma
kakiku, bukan tanganku”, akibatnya dia tidak bisa pergi kursus biola sendiri.
Dia mengeluh cukup lama tentang bagaimana proyek Flight of the Bumblebeenya
tertunda. Dan coba tebak siapa yang menjadi tumbal, dan harus menjadi tukang
ojek pribadinya dari hari ke hari selama kaki Yasmin masih belum kondusif
sebagai pemindah gigi motor. Tentu saja aku.
“Rosa, ayo...!”
Yasmin mengguncang-guncang bahuku, membuatku terbangun
dari mimpi yang hanya samar-samar kuingat, masih mengantuk.
“Hmmm.”
“Rosa, antarkan aku ke tempat kursus. Kamu lupa ya?”
Aku membuka mata dan memaksa tubuhku bangkit dari
kasur sambil menguap. Aku menggerundel tak jelas sambil mengucek-ucek mataku,
meski dalam hati aku tak bisa menyalahkan Yasmin karena mengganggu tidur
siangku. Toh bukan sepenuhnya salah Yasmin kalau dia memang tidak bisa lompat
tinggi. Maka lima menit kemudian, setelah cuci muka dengan buru-buru, Yasmin
duduk manis memboncengku melewati jalan raya utama di kota kami menuju sekolah
musik tempatnya kursus biola.
Segalanya terjadi secepat kilat. Sesaat tangan Yasmin
masih memeluk pinggangku, lalu sesaat kemudian rasa perih mencuat dari lutut
dan sikuku. Baru setelahnya kusadari aku sudah terbaring di aspal yang panas
dalam keadaan tengkurap. Aku meringis kesakitan dan merangsek berusaha duduk
dengan susah payah. Motor yang tadi kami tunggangi tergeletak begitu saja di
samping kananku dengan roda depan masih berputar. Lalu aku menoleh ke kiri dan
kudapati wajah Yasmin hanya beberapa senti dari wajahku.
Aku merasa napasku terhenti di tenggorokan.
Helm yang selalu lupa dikancingkan talinya oleh Yasmin
menggelinding dua meter jauhnya sementara darah membanjir dari kepalanya ke
aspal. Aku membeku menatap Yasmin, dengan wajah yang sama persis denganku, dan
dia balas menatapku dengan tatapan kosong seolah menuduh. Matanya yang selalu
berbinar penuh antusiasme kini bagai sebuah sumur kosong, kering tanpa dasar,
dan aku merasakan tatapanku terpaku hingga air mata mulai bergulir di pipiku.
*
Malam itu aku terbangun dari mimpi buruk. Lagi. Aku
mendesah, tahu bahwa setelah terbangun akan sangat sulit untuk kembali
tertidur. Hal yang biasa terjadi tiap malam setahun belakangan ini. Maka aku
menyerah dan bangkit. Kusambar biola di sudut ruangan dan kupasang shoulder
rest sebelum kumainkan Air in G lagi. Lebih baik melakukan sesuatu
yang produktif, pikirku sambil tersenyum masam dan menggesek nada pertama.
Sembilan ketukan. Baru setelah paruh pertama selesai kumainkan, aku menyadari
bahwa biola yang kumainkan bukan milikku.
Biola Yasmin.
Lalu samar-samar tercium wangi melati.
Enggak suka sama kalimat terakhirnya. Kayaknya biasa banget. Hmm..
BalasHapusSuka sama ceritanya walau mikir juga sih, kayaknya enggak semua orang ngerti istilah-istilah yang dipake di sini, seperti bridge. Terus emangnya kenapa kalau bar keenam belas udah lewat satu setengah detik yang lalu? Enggak bisa disusul aja? *ditendang
*iya agak asing sama istilahnya sih meski kalo mau tancap gas tetep ngga ngaruh banget sama inti ceritanya.
BalasHapusSuka meskipun horor x_x
aku suka sama ide dan penuturannya..istilah2nya juga lumayan bisa dimengerti... mungkin kalo di buku bisa dikasih footnote ya :) tapi ending melati nya sebenernya nggak mesti ada sih... maksudku, kisahnya jatuhnya udah cocok ke cerita sedih... tanpa harus masukin unsur horror di bagian belakang :)
BalasHapussukaa... meski nggak ngerti dgn beberapa istilah, tapi nggak mengganggu juga kok.
BalasHapusKalau cerpen yang ini sih udah langsung ketebak siapa yang nulis :p