Jumat, 07 Februari 2014

Masih Ada Cinta

“Kamu masih tetap mau pergi?”

Aku memandang wajahmu dari samping. Entah apa yang aku cari, mungkin aku masih belum yakin apakah kamu benar-benar akan meninggalkanku.

”Iya.” Dingin suaramu menunjukkan betapa kamu tak ingin diganggu.
 Aku mengalihkan pandanganku ke kursi-kursi hitam stasiun yang penuh dengan mereka penunggu waktu. Meskipun hari sudah malam, rupanya banyak juga para calon penumpang dan para pengantarnya yang berkumpul dan mengobrol riuh rendah memenuhi udara dengan keramaian khas tempat perpisahan.

Sekilas aku melirik ke jam dinding yang tergantung di atas loket, setengah jam lagi dari jadwal keberangkatanmu.

”Jangan pergi,” bisikku. Berharap kamu mau mendengarkan pinta terakhirku kali ini, meski sebenarnya aku yakin tak akan mampu mengubah pendirianmu.

”Kereta Argo Dwipangga akan masuk di jalur satu. Bagi para calon penumpang Argo Dwipangga, dimohon untuk bersiap-siap di peron tinggi jalur satu.”

Suara dari kepala stasiun memenuhi ruangan. Beberapa orang aku lihat mulai bersalam-salaman tanda perpisahan. Tapi aku masih duduk diam, aku tak mau berpisah darimu, tekadku.

”Aku pergi, Nad. Maaf. Tapi lupakan saja aku dan semua kisah kita.”

Kamu memegang tanganku lalu melangkah masuk ke dalam peron.

Aku tak berani mengejarmu, karena sejatinya hatiku sudah terlalu luka. Tak mungkin aku menangis tergugu di ruang ramai ini, meski sebenarnya perih mengoyak.

Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar ruang tunggu, langit malam di atas stasiun terasa sangat damai. Aku duduk di selasar stasiun yang agak sepi. Menitikkan air mata yang seakan tiada henti hingga seseorang menepuk bahuku.

--

”Nadia.” Aku menepuk bahu gadis yang duduk dalam remang remang lampu stasiun.

”Aku boleh duduk di sini?”

Aku melihat sekilas ke wajahnya yang sayu. Matanya sembab, aku yakin dia pasti habis menangis. Kami duduk dalam hening.

”Kamu mau ke mana, Da?” Gadis itu menatapku.

“Aku dari Jogja, ini baru mau pulang. Tadi naik Kereta Prameks terakhir, mana pakai ngadat di tengah jalan, duh makanya jam segini baru sampai Solo.” Aku mencoba membuka percakapan lebih panjang.

“Oh.” Gadis itu hanya tersenyum lalu memandang jauh ke langit hitam berbintang.

“Kamu.. kamu kok sendirian di stasiun, Nad? Fajar jadi berangkat ke Jakarta?” tanyaku.

”Iya... dia.. dia mutusin aku, Da.” Gadis itu menitikkan air matanya lagi.

Aku jadi salah tingkah. Ketahuilah, tak ada lelaki yang luluh kalau melihat air mata seorang wanita.

“Eh, aku turut berduka,” ucapku sekenanya. Sungguh aku tak tahu harus berkomentar apa. Gadis ini sebenarnya adalah satu-satunya gadis yang aku suka, tapi aku tak pernah berani mengatakan hal itu padanya sebab aku tahu ia sudah ada yang punya. Lalu kalau ia putus dengan pacarnya, aku tak tahu harus bahagia atau benar-benar turut berduka?

“Hahaha. Kamu lucu. Nggak usah berduka. Toh memang hubungan kami sudah dingin sejak lama. Aku saja yang tak mau benar-benar mengakui kalau ia sudah tak suka lagi denganku.” Nadia tertawa meski kulihat sekejap matanya masih berkaca-kaca.

“Kamu mau pulang? Aku antar ya?” Aku memberanikan diri memegang tangannya.

“Aku masih mau di sini saja, Da. Kalau kamu pulang duluan, silakan.” Sebuah senyuman disunggingkan untukku.

Tak perlu dipikir lagi untuk menjawab penolakan itu, ”Aku tunggu di sini saja, biar menemani kamu juga,” kataku.

--

Sabda enggan beranjak dari sebelahku. Aku tersenyum padanya. Ah, lelaki ini, yang sampai sekarang diam-diam sebenarnya masih ada di hatiku. Atau benarkah begitu? Jangan-jangan ini hanya kebodohanku karena mencoba segera mencari pengganti Fajar yang telah hilang lalu?

”Kamu dingin? Nih pakai saja jaketku.” Sabda menyelimuti bahuku dengan jaketnya. Aroma khas tubuhnya menguar di pikiranku. 

Aku merindukan Sabda, orang yang dulu pernah amat dekat denganku sebelum aku berkenalan dengan Fajar. Bisa dibilang, selama ini Sabda telah rela menjadi ’tong sampah’ keluh kesahku. Sayangnya semenjak aku berpacaran dengan Fajar, aku mulai jarang berhubungan dengan Sabda. Tapi kemudian aku selalu merindukannya, diam-diam.

Mungkin benar aku jatuh cinta dengannya? Namun pantaskah aku?

Aku melirik Sabda yang sedang memanggil penjual wedang ronde.

”Kamu mau?” tanyanya.

”Boleh.” Saat dingin begini, aku rasa semangkuk Ronde akan melegakan pikiranku.

”Tolong dibuatkan dua mangkuk ya, Pak.”, kata Sabda.

”Fajar memangnya mau ke mana, Nad?”, Sabda bertanya padaku sambil menyesap wedang rondenya.

”Dia keterima kerja di Jakarta. Sebenarnya kami sudah renggang sejak dua bulan yang lalu. Tapi aku selalu takut ditinggal dia pergi, makanya mungkin hari ini adalah momen yang tepat baginya untuk memutuskan hubungannya denganku.”
 
”Kamu kan dulu juga happy-happy aja tanpa Fajar.”, kata Sabda.

”Iyakah?” Aku tertawa, rasanya sudah lama aku tak mengingat lagi bagaimana kebersamaanku dengan Fajar, Toh sebenarnya dia sudah enyah lama dari hatiku.

”Beneran. Lagian kan kamu masih punya aku.” Sabda tersenyum sambil mengedipkan matanya dengan genit.

--

Kami menghabiskan malam itu dengan banyak tawa berdua. Rasanya setelah menghabiskan wedang ronde, semua kebekuan kami sirna. Senyum bahagia juga tampak di muka Nadia. Kalau saja aku bisa menghentikan wkatu, aku ingin memotongnya di bagian ini, di stasiun ini, saat ini.

Debar jantungku semakin tidak karuan berada di dekat Nadia. Haruskah aku mengutarakan Cinta? Pantaskah? Sedang tadi dia baru saja sedih ditinggal pergi kekasihnya.

”Nad....” Aku menggenggam jemari tangannya yang hangat.

”Eh, kenapa Da?” Ia memperhatikanku.

”Aku... aku... aku suka kamu, Nad,” kataku.

Nadia diam, melepaskan genggaman tanganku lalu membuang muka dariku. Sial, sepertinya langkahku hari ini terlalu berani. Tapi bagaimana lagi?

”Aku sudah lama suka sama kamu, Nad.” Aku diam, memandangi langit yang gelap dan stasiun yang mulai sepi.

”Dulu aku pernah ingin menyatakan perasaanku, tapi sepertinya kamu lebih memilih Fajar. Tentu aku tak mau kebahagiaanmu terenggut.”

Nadia tetap diam. Aku tak berani memandanginya.

”Kamu ingat, sejak dulu kita selalu dekat, hanya karena Keegoisan Fajar kemudian aku menjauh darimu. Aku tak mau hadirku membuatmu terluka disakiti dia. Makanya aku biarkan kalian berbahagia. Tapi ternyata Fajar memang bukan lelaki yang cocok denganmu. Sejak itu aku berketetapan, suatu hari nanti kalau kamu sudah sendiri lagi, aku akan mengatakan perasaanku yang sejujurnya sama kamu.” Aku menoleh ke arah Nadia yang ternyata sedang memandangiku.

--

”Kamu mau menikah denganku?”

Kata-kata Sabda membuatku hampir pingsan saking kagetnya.

Kami memang sudah kenal sejak lama, tapi bagaimana mungkin saat ini? Sekarang? Di tempat ini ia melamarku?

”Kamu nggak usah buru-buru menjawabnya. Aku hanya ingin menyatakan bahwa aku benar-benar sayang sama kamu, Nad. ” Sabda tersenyum kaku kepadaku.

Haruskah kujawab? Perasaanku? Setelah baru saja disakiti seorang pria? Tapi toh...

”Aku juga suka kamu, Da. Tapi kita jalan pelan-pelan dulu, ya. Aku belum yakin apa orang tuaku mengizinkanku menikah denganmu.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangan Sabda.

Cinta boleh pergi, tapi apapun yang pergi pasti akan kembali, meski ia dalam bentuk yang berbeda. Yang lebih berbahagia.

4 komentar:

  1. suka sama gaya penceritaannya yang ganti2 sudut pandang ala2 eleanor & park XD tapi endingnya terlalu buru2 ya? kayaknya sabda bad timing banget nyatain cinta ke nadia beberapa menit setelah fajar mutusin dia XD

    BalasHapus
  2. itu Nadia langsung nerima mungkin karena baru putus cinta kali ya *dibahas

    BalasHapus
  3. Ini Zelie nih, jangan ditanya lagi ini siapa #masihsebelsamaKakDani xD
    Suka sama gaya bahasanya, tapi ada typo, pasti salah Kak Dani #nuduh
    Terus, iyaa, bad timing banget ngajak nikah pas lagi patah hati. Mustinya, bisa dibikin lebih lambat lagi. Misalnya, mereka menikmati hari itu bersama dan yaaa enjoy aja, hueheh..

    BalasHapus

 
Rumah Cerita - Blogger Templates, - by Templates para novo blogger Displayed on lasik Singapore eye clinic.