Rabu, 05 Februari 2014

Cinta sang Dewi Buku

Kalian tahu bagaimana rasanya meragu dan membimbang? Rasanya seperti ada bagian dari dirimu yang terbelah, masing-masing memencar membawa cabang-cabang pikiran yang berlainan bersamanya. Aku juga sama. Entah sudah berapa masa aku mengalami sensasi aneh ini. Dulu, awalnya aku merasakan emosi ini begitu kuat; kemudian seolah-olah rasa itu sudah begitu mengenalku dan menarikku bersamanya. Galau. Mungkin, seperti ini rasanya seorang gadis yang terpisah dari kekasihnya. Mungkin seberat ini kegalauan sang pemuda ketika pujaan hatinya terpaling. Ah, cinta lagi … aku tidak menyangka busur merah jambu itu mengarah kepadaku juga. Kini, seperti para pecinta yang terpuruk dalam roman-roman picisan; akhirnya aku merasakannya juga. Aku jatuh dan terbuang. 

Poseidon telah mengingatkanku agar tidak bermain dengan panah-panah cinta, atau aku akan terluka. Dia benar, aku telah tertusuk duri-duri cinta. Saudari Athena juga telah menghela kelancanganku, yang tetap saja maju meski teramat besar risiko yang kuambil. Tapi tarikan itu terlalu kuat, menggerogoti jiwaku laksana api memakan helaian daun kering. Begitu cepat dan begitu rupa menjebol tembok itu hingga akhirnya aku pun terhanyut dalam arus fana ini. Awalnya indah, tapi bunga cinta itu memang perlahan dapat menjadi duri-duri yang dapat melukaimu. Awalnya membebaskan, namun cinta juga akan membelenggumu saat kau memegangnya terlalu erat. Risikonya memang berat, tapi aku yakin risiko itu pantas diambil mengingat apa yang tengah berupaya aku raih. Cinta. Dulu, aku hanya mau mencoba merasakannya, tetapi godaannya ternyata terlalu besar. 

Siang yang sangat panas. Aku tengah duduk-duduk di kafe Books and Coffee yang dibangun melintang di dekat kawasan dermaga. Aku suka kafe ini karena ada rak kecil di salah satu sudutnya. Kecil namun penuh dengan buku. Buku, itu salah satu temuan manusia yang aku sukai. Aku suka cerita-cerita di dalamnya. Aku suka membaui kertas-kertas apaknya. Penanda masa, penyimpan kenangan, pelestari legenda; begitu aku biasa menjuluki benda bersampul kesukaanku ini. Kalau bukan aku, siapa lagi yang lebih menyukainya? 

Dan, sang pemilik cafe kecil di pinggir laut ini masih begitu bersemangat membuat dan mengantarkan pesanan. Orang itu pasti mencintai pekerjaannya. Sambil menyesap segelas jus jerukku, aku berharap bisa meniru semangatnya yang digerakkan oleh cinta. Ah, cinta lagi. Bukankah orang bilang dengan cinta, kau bisa melakukan apa saja: memindahkan gunung, membuat seribu candi, bahkan membunuh dirimu sendiri! Cinta memang indah, tapi pengalamanku juga membuktikan bahwa cinta terkadang bisa begitu rupa menjatuhkanmu ke dasar jurang paling dalam. Aku mengenal dan pernah bertemu dengan mereka yang benar-benar mengalaminya. Aku sendiri terbuang dari keluargaku karena cinta. Aku mengabaikan peradaban karena cinta. Aku berhenti menjadi dewi karena cinta. 

Orang tua dengan topi jerami itu tiba-tiba saja telah duduk di sana, ia duduk bersantai satu meja jauhnya dari meja kecil tempatku duduk sembari mengistirahatkan kaki—dan juga hati. Dia memesan secangkir kopi panas, bukannya es krim atau jus buah. Cukup aneh mengingat cuaca sedang terik seperti siang ini. Kemudian, mata kami bertatapan, dan aku langsung tahu siapa dia. Dan mendadak aku tahu jawabannya. 

“Kopi, minuman kaum fana kesukaanku sejak dulu. Cuaca panas terik sekalipun tidak akan kubiarkan menghalangi kesempatan untuk menikmati secangkir kopi yang nikmat ini. Mungkin nanti aku harus berbicara dengan Apollo. Keretanya terlalu lambat akhir-akhir ini.” Kata-katanya sambil memandang ke langit yang biru cerah.” 

Kurasa, dia memang mau berbicara denganku. Dengan enggan aku melangkah mendekat, menarik kursi rotan yang cokelat kusam di pinggir meja kopinya. Bayang-bayang payung menaungi kami dari terpaan sinar matahari yang—anehnya—tidak sepanas seperti di kursiku tadi. 

“Mengapa Anda di sini?” tanyaku langsung. 

Dia hanya tersenyum kecil, senyumnya sedikit tapi entah mengapa terlihat begitu berwibawa. Seolah-olah payung-payung matahari di beranda depan kafe kecil ini menciut sedikit agar tidak menyaingi senyumnya yang terkembang. 

‘Oh, hanya berjalan-jalan. Orang tua seperti aku sesekali perlu pergi ke luar dan melihat dunia bukan? Aku juga bisa linglung kalau harus terus bekerja sepanjang waktu.” 

“Apakah itu sindiran?” tanyaku, yang kurasa agak terlalu ketus. 

Orang tua itu tertawa lebar. “Aku tidak menyindir. Aku selalu menghormati mereka yang berani memutuskan dan hidup dengan menjalani keputusannya itu. Terkadang, mengambil keputusan itulah yang sulit, sisanya cukup mudah jika kita benar-benar meyakininya.” 

“Anda tengah mempertanyakan kembali keputusan yang aku ambil, atau apakah Anda hendak mengolok-olok nasib saya ini?” 

“Jangan salah menafsirkannya anakku. Aku bukan hakim atau juri, aku hanya mencoba menjadi pengamat, lebih tepatnya penikmat. Masa kita sudah habis di era ini. Kita tidak lagi bisa sesibuk dulu. Urusan dengan bangsa manusia ini semakin rumit raja.” 

“Anda berbicara berputar-putar seperti awan ribut.” Sepertinya, metafora yang kugunakan terlalu berlebihan, kurang cocok malah. 

Orang tua itu tersenyum kecil. “Aku di sini hanya ingin berlibur dan menikmati secangkir kopi nikmat ini. Aku ingin rehat sejenak, Nak. Tapi aku juga tidak keberatan ketika ada yang ingin berbagi cerita kepadaku. Bukankah itu yang mereka bilang? Bahwa berbagi merupakan salah satu esensi sejati dari menjadi manusia? Nah, disinilah aku Nak!” 

Aku ragu, ada banyak hal yang ingin kuutarakan dan kutanyakan kepadanya. Semua hal yang berhubungan dengan cinta ini begitu rumit. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang sebagai kegalauan, seekor monster emosional yang telah begitu rupa menghantui para pecinta dan pemuja, entah di dunia nyata maupun di dunia maya. Apakah keputusanku untuk meninggalkan tugasku itu keliru? Apakah aku terlalu egois? 

“Aku jatuh cinta, sesederhana itu. Aku memperjuangkannya, sesederhana itu. Aku menikmatinya, sesederhana itu. Dan, tiba-tiba semuanya menjadi tidak sesederhana seperti kelihatannya ketika aku mulai memikirkan lain dan satu hal.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. 

“Aku mendengarkan!” jawabnya. 

“Aku jatuh cinta pada seseorang, dan aku kini bingung. Maksudku,  Bulan tidak terlihat seindah seperti kelihatannya jika kita melihat permukaannya dari dekat. Anda tahu kan maksud saya?” Aku berusaha menggunakan metafora sederhana itu untuk menyampaikan hal yang sebenarnya sangat tidak sederhana. Yah, memang sejak kapan sih cinta itu sederhana? 

“Begitu, hmmm  lanjutkan, aku mendengarkan.” 

Dari dulu, orang tua ini selalu mengejutkanku. Dia hanya mendengarkan, dan hanya mendengarkan, tidak berusaha menyanggah atau mempertanyakan. Tepat sebagaimana yang diinginkan wanita dari pria, mendengarkan. 

“Kamu ingin tahu bagaimana pendapatku Nak?” katanya saat melihatku yang tiba-tiba diam selama beberapa saat. 

“Eh, sejujurnya, … iya”, kataku. 

“Baiklah, aku tidak berniat turut campur, tapi apa pun yang menjadi pilihanmu, aku mendukungnya.” 

Begitu saja! 

“Maksud Anda? Anda jangan membuat saya bingung. Maksud saya, kukira jawaban Anda akan lebih panjang, lebih menasihati begitu!” 

Orang tua itu kembali tersenyum, dan selama sekejap aku merasakan sensasi seperti semua payung matahari di depan kafe ini hendak menutup sebelum kemudian mengembang terbuka lagi. 

“Sebagaimana kataku tadi, aku mendukungmu!” 

“Tapi … tapi … maksudku, bagaimana jika keputusan yang aku ambil ini salah?” keraguan mulai menderaku. “Bagaimana jika mereka marah?” 

“Aku masih ingat kata-kata lantang yang kau ucapkan dulu … sebentar kalau tidak salah bunyinya “Cinta tidak pernah salah” bukankah begitu?” matanya menatap tajam diriku, tapi senyumnya tetap seramah senyum kakek yang tengah menggendong cucu pertamanya. 

“Entahlah” kataku lemah. Aku mulai tidak yakin lagi dengan ucapan heroikku itu. 

“Apakah kamu sudah kehilangan keyakinanmu, Nak? Sayang sekali kalau begitu. Keyakinan itu salah satu dari hal-hal paling mahal di dunia ini. 

“Bukan”, sahutku cepat, “keyakinan dan sumpah yang telah aku ucapkan masih sekukuh terang. Hanya saja … hanya saja aku masih bimbang mengingat konsekuensi dari keputusanku ini.” 

“Ragu adalah emosi wajar bagi setiap manusia.” 

“Aku bukannya ragu, hanya …” 

“Kamu hendak bilang bahwa kamu hendak berpaling lagi?” 

“Bukan, aku sangat mencintai Erik, juga Erika, putriku. Aku tidak akan menukar mereka dengan apa pun, dengan keabadian sekalipun”, sahutku parau, dan jujur sebetulnya hampir saja aku menangis. Entah kenapa aku menangis. Emosi manusia memang aneh. 

Dan orang tua itu kembali tersenyum, kelepak payung matahari yang menciut sejenak benar-benar terdengar jelas kali ini. “Aku tahu, aku percaya itu. Aku yakin dan percaya kepadamu, juga kepada cinta.” 

“Tapi, tapi bagaimana dengan nasib mereka. Maksudku, apakah keputusanku ini akan merusak perjanjian itu? Apakah aku terlalu egois?” 

“Engkau tidak egois Nak. Kamu sendiri pernah bilang bahwa mencintai itu berarti berani berkorban. Nah, menurutku kini cinta sedang berkorban demi cintamu.” Lagi-lagi, kata-katanya penuh misteri bagiku. 

“Maksud Anda?” Aku benar-benar kebingungan. 

“Dunia sedang berkorban demi engkau, tidakkah kau mengerti?” jelasnya singkat. 

Aku tidak mengerti, kataku dalam hati. Tapi, sepertinya orang tua bertopi jerami itu bisa membaca isi hatiku. 

“Seperti pernah kamu katakan dulu, Nak, cinta adalah satu jenis emosi yang luar biasa rumit. Indah sekaligus berbahaya. Tidak kasat mata namun mampu membangun dan juga menghancurkan. Cinta itu rumit, terlalu besar untuk diatur dan diarahkan. Kita tidak bisa menyimpan cinta dalam satu kotak dan kemudian menyerahkan kotak itu kepada satu orang. Cinta terlalu kuat dan terlalu besar untuk dimiliki sendirian. Kau harus sering-sering bicara dengan bibimu dan keponakanmu. Mereka sudah terlalu lama keluyuran sambil membawa panah meraj jambu itu. Tembak sana, tembak sini.” Ia berhenti sejenak. Menatapku sambil tersenyum jahil, kemudian melanjutkan. 

“Orang bisa gila jika ia terus memendam rasa cintanya. Cinta itu bebas dan membebaskan, cinta itu agung dan merupakan salah satu ciptaan dari Sang Agung dari Segala yang Agung. Tidak seharusnya cinta itu diatur dan dikuasai oleh satu entitas. Mengertikah kamu wahai Dewi Biblio?” 

Aku terkesiap. Orang tua itu baru saja menyebut nama terlarangku. Nama dewi yang kuputuskan telah kubuang saat kukhianati jati diri dan perwujudan sejatiku. Dia juga hafal benar kalimat-kalimat yang dulu selalu aku gaung-gaungkan ke hati dan pikiran para makhluk fana, manusia. 

“Anda tidak marah dengan keputusanku? Anda tidak ke sini untuk menghakimiku?” tanyaku, sejujurnya dengan agak takut. Dan, orang tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Kelepak payung matahari kembali terdengar, agak keras kali ini. 

“Apa menurutku aku akan melontarkan petir kepada para pejuang pemberani yang memperjuangkan prinsipnya? Tidak. Dari dulu aku selalu mengagumi mereka yang berhati teguh dan kuat keyakinan. Aku selalu menyukai para pahlawan, menurutmu bagaimana?” jawabnya santai. 

“Tapi bagaimana dengan semua hal yang kutinggalkan? Iskandariah, Bait al Hikmah, perpustakaan-perpustakaan besar di Granada, buku-buku agung yang menjadi obyek pembakaran di abad pertengahan? Buku dan perpustakaan sudah kehilangan pelindungnya. Bahkan, perpustakaan kini sepi dan membosankan. Itu semua karena aku, berpaling dari tugasku sebagai Dewi Pelindung Buku hanya gara-gara cinta. Seterusnya aku kini harus menjalani cinta fana ini.” tanyaku masih sangsi dengan jawabannya. 

“Huahahaha, kamu terlalu percaya diri Nak?” Orang tua bertopi jerami itu tertawa lagi. “Sebagaimana aku bilang tadi, cinta terlalu kuat untuk kamu tanggung sendiri. Cinta itu besar sehingga harus dibagi-bagi, tidak boleh disimpan sendiri. Bukankah begitu seharusnya?” 

“Sekarang, siapa yang jadi Dewa Cinta?” ejekku. 

Zeus hanya tertawa lepas, seolah dia hanyalah kakek-kakek tua berduit yang sedang berlibur di sebuah resor wisata. Tentu saja kalau dia tidak membawa-bawa tongkat petirnya. “Aku belajar dari dirimu, Nak!” 

“Tapi, bukannya dunia jadi kehilangan dewi pelindung pustaka karena aku berkhianat dan memilih menjadi manusia biasa demi mengejar cintaku sendiri?” Kataku melanjutkan. 

“Benar, tapi ini bukan masalah benar atau salah. Ini, rumit begitulah (cinta memang rumit, seperti kata mereka). Begini, sejak ribuan tahun, dewa-dewi eksis dalam peradaban hanya dalam cerita. Kamu catat itu, hanya dalam cerita dan legenda. Dengan kata lain, aku adalah sang dewa petir yang agung, yang terkuat, tapi hanya dalam cerita. Eksistensi kita tergantung pada persepsi manusia di muka Bumi. Seandainya mereka sudah tidak mempercayai dewa-dewi lagi, maka Zeus nan agung itu tidak berarti apa-apa kecuali raja dewa dalam cerita-cerita lama.” 

“Maksud Anda, kita ada karena manusia?” 

“Benar sekali anakku, lebih tepatnya karena kekuatan kreativitas manusia. Itulah intinya. Betapa menakjubkannya kekuatan pikiran mereka, bukan?” 

“Jadi,” sambungku,  “kaum kita lambat laun akan menghilang jika manusia kelak melupakan keberadaan kita?” 

“Kurang lebih begitu, tapi tidak selalu begitu, ini agak rumit,” jawabnya penuh teka-teki. 

“Dewa-dewi lain mungkin meluruh seiring dengan hilangnya keyakinan manusia terhadap kaum kita, tapi aku lihat kamu tidak, anakku.” 

“Maksud Anda?” entah sudah berapa banyak aku menanyakan pertanyaan yang sama. 

“Maksudnya begini, dari sekian banyak elemen yang terwakili oleh para dewa, buku adalah salah satu pilar penopang peradaban. Karena engkau memutuskan menjadi manusia fanalah maka peradaban Yunani—awal eksistensi kita—tidak mengenal Dewi Biblio, sang dewi buku. Para sejarahwan tidak pernah menulis tentang namamu dalam karya-karya mereka tentang mitologi kuno. Ironis, padahal mereka menulis buku. Tapi, nyatanya, sampai sekarang masih ada jutaan orang yang mencintai buku, yang membaca buku. Mereka membanjiri toko buku. Mereka tidak sabar pergi ke pameran buku. Setumpuk buku di pojokan belum cukup memuaskan dahaga mereka. Manusia mau dan akan terus mau membaca buku, karena sudah sifat alami mereka untuk mencari tahu. Kau lihat kan? Bahkan tanpa keberadaan seorang dewi pelindung buku, manusia tetap mencintai buku?” 

Aku melongo lagi. Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Ah iya, aku sekarang makhluk fana, yang terus menerus terlahir ulang dalam fase-fase kehidupan manusia. Aku berpikir seperti mereka kecuali pada saat-saat istimewa ketika ilham dewata itu menyentuhku. Seperti saat ini. Sudah ribuan tahun aku terhukum menjalani cinta yang sama. Yang ironisnya, aku sendiri sangat bersyukur bisa mengalaminya. 

“Hanya kamu, Dewi Biblio yang mampu melepaskan diri dari belenggu kesombongan dewata dan melebur bersama kehidupan manusia. Cintalah yang menjadikan dirimu ada, merasakannya dan mampu mewujud di tengah-tengah manusia seperti saat ini. Karena engkau, lebih banyak manusia yang mencintai buku lebih daripada mereka mencintai, petir misalnya.” Dia terkekeh. 

Aku ikut terkekeh sejenak lalu berkata. “Yah, memang awalnya aku tak kuasa menolaknya, seolah-olah ada kekuatan yang lebih tinggi, kekuatan Sang Maha Cinta yang menarikku di kefanaan. Tapi, kefanaan yang menyenangkan,” gumamku. 

“Begitulah”, lanjutnya, “kefanaan itulah yang membuatmu menjadi fana, nyata, ada, bisa disentuh, dan lebih utama lagi, bisa merasakan cinta. Dunia tidak butuh dewi buku karena buku telah ditakdirkan untuk ada sejak Masa sebelum Masa. Buku tidak untuk dilindungi, tetapi untuk dibaca dan diamalkan isinya. Itu juga kan yang kamu katakan dulu?” 

“Aku mengerti” jawabku mantap dan tidak bingung lagi. 

“Demikianlah anakku, sebagaimana katamu dulu, manusialah kini yang menjadi para pelindung buku yang sejati. Selama mereka tetap menulisnya, membacanya, dan menerbitkannya; buku akan selalu ada terlindungi. Merekalah para martir-martir buku yang sejati. Para kutu buku itulah titisanmu. Kamu mengerti Nak? Dunia tidak butuh dewi pelindung buku. Dunia butuh orang-orang yang mencintai buku.” 

Aku mengangguk paham. Sekarang, aku mulai memahami. 

“Baiklah. Sampai jumpa lagi kalau begitu. Rupanya hujan harus turun di suatu tempat di India. Aku harus segera di sana, menyertai keberadaannya. Semoga harimu menyenangkan, Dewi Biblio.” 

Dan, disertai dengan suara gelegar guntur yang aku yakin hanya aku saja yang bisa mendengarnya, pria bijak dengan topi jerami itu lenyap, meninggalkan udara berbau ozon dan percikan cahaya elektrik mini. Dunia modern mungkin sudah kehilangan sang Dewi Buku, tapi aku yakin buku tidak akan pernah menghilang dari manusia karena kini aku ada di tengah-tengah mereka, menyatu dengan mengalaminya langsung, memberikannya kepada mereka yang kucintai dan mencintaiku. 

Kemudian, aku melihat suami dan anakku tengah melambai-lambai ke arahku. Tangan Erika memegang sebatang es krim paling enak di dunia. “Aku datang, cinta!” kali ini tanpa ragu ataupun galau aku akan menyambutnya.

Tidak ada yang namanya egois dalam mencintai, kita egois ketika kita mengabaikannya.

*** 

5 komentar:

  1. Sebelum komen panjang, aku mau minta maaf dulu pada cerpenisnya kalo dirasa komenku frontal.

    Aku (kayaknya sih) bisa nangkap ide dan maksudnya. Tapi bahasanya berbunga-bunga sekali.
    Gak ada yg salah sih dengan bahasa bunga. Cuma bukan seleraku aja :).

    Dan rasanya pembahasan tentang cinta dan kegamangan dewi biblio terlalu 'muter' ya. Sempat ada perasaan 'kayaknya dialog semacam ini udah ada deh di atas'.

    Lalu....aku gak ngerti di bagian ini :
    "Sudah ribuan tahun aku terhukum menjalani cinta yang sama. Yang ironisnya, aku sendiri sangat bersyukur bisa mengalaminya. "

    Katanya dewi Biblio itu makhluk fana. Kok hidup terhukum ribuan tahun?
    Tapi salut buat cerpenis. Kepikir aja sih bikin tokoh dewi Biblio :)

    BalasHapus
  2. diksinya melimpah, boo' x_x
    keren ide Dewi Biblionya, meski namanya kurang cantik sih ya *disembur Zeus

    BalasHapus
  3. Panjang ya cerpennya. Iya nih bahasanya berbunga-bunga. Pasti Dewi Biblio ini terpengaruh si Bella Twillight #eh. Ini suka membaca karya Rick Riordan mesti cerpenisnya. Tapi aisk dibacanya :)

    BalasHapus
  4. Aku salut sama idenya, untuk bikin dewi biblio.
    Tapi, aku enggak ngerti. Disebutkan buku temuan manusia, kok dia jadi dewinya?
    Jadi, dewi ini lahir karena manusia menciptakan buku dan setelah dewinya menjadi fana, dewinya jadi penimbun buku?
    *dibakar api cinta #heh

    BalasHapus
  5. Suka sama: ide Dewi Biblio, kreatif, percakapan sama Zeus
    Ngga begitu suka sama: narasi yang agak muter-muter, pengulangan tentang sensasi galau, dan ketidakkonsistenan "aku dan saya" dalam percakapan. :)

    BalasHapus

 
Rumah Cerita - Blogger Templates, - by Templates para novo blogger Displayed on lasik Singapore eye clinic.