Kalian tahu bagaimana rasanya meragu dan membimbang?
Rasanya seperti ada bagian dari dirimu yang terbelah, masing-masing memencar
membawa cabang-cabang pikiran yang berlainan bersamanya. Aku juga sama. Entah sudah
berapa masa aku mengalami sensasi aneh ini. Dulu, awalnya aku merasakan emosi
ini begitu kuat; kemudian seolah-olah rasa itu sudah begitu mengenalku dan
menarikku bersamanya. Galau. Mungkin, seperti ini rasanya seorang gadis
yang terpisah dari kekasihnya. Mungkin seberat ini kegalauan sang pemuda ketika
pujaan hatinya terpaling. Ah, cinta lagi … aku tidak menyangka busur merah
jambu itu mengarah kepadaku juga. Kini, seperti para pecinta yang terpuruk
dalam roman-roman picisan; akhirnya aku merasakannya juga. Aku jatuh dan
terbuang.
Poseidon telah mengingatkanku agar tidak bermain
dengan panah-panah cinta, atau aku akan terluka. Dia benar, aku telah tertusuk
duri-duri cinta. Saudari Athena juga telah menghela kelancanganku, yang tetap
saja maju meski teramat besar risiko yang kuambil. Tapi tarikan itu terlalu
kuat, menggerogoti jiwaku laksana api memakan helaian daun kering. Begitu cepat
dan begitu rupa menjebol tembok itu hingga akhirnya aku pun terhanyut dalam
arus fana ini. Awalnya indah, tapi bunga cinta itu memang perlahan dapat
menjadi duri-duri yang dapat melukaimu. Awalnya membebaskan, namun cinta juga
akan membelenggumu saat kau memegangnya terlalu erat. Risikonya memang berat,
tapi aku yakin risiko itu pantas diambil mengingat apa yang tengah berupaya aku
raih. Cinta. Dulu, aku hanya mau mencoba merasakannya, tetapi godaannya
ternyata terlalu besar.
Siang yang sangat panas. Aku tengah duduk-duduk di
kafe Books and Coffee yang dibangun melintang di dekat kawasan dermaga. Aku
suka kafe ini karena ada rak kecil di salah satu sudutnya. Kecil namun penuh
dengan buku. Buku, itu salah satu temuan manusia yang aku sukai. Aku suka
cerita-cerita di dalamnya. Aku suka membaui kertas-kertas apaknya. Penanda
masa, penyimpan kenangan, pelestari legenda; begitu aku biasa menjuluki benda
bersampul kesukaanku ini. Kalau bukan aku, siapa lagi yang lebih
menyukainya?
Dan, sang pemilik cafe kecil di pinggir laut ini masih
begitu bersemangat membuat dan mengantarkan pesanan. Orang itu pasti mencintai
pekerjaannya. Sambil menyesap segelas jus jerukku, aku berharap bisa meniru
semangatnya yang digerakkan oleh cinta. Ah, cinta lagi. Bukankah orang bilang
dengan cinta, kau bisa melakukan apa saja: memindahkan gunung, membuat seribu
candi, bahkan membunuh dirimu sendiri! Cinta memang indah, tapi pengalamanku
juga membuktikan bahwa cinta terkadang bisa begitu rupa menjatuhkanmu ke dasar
jurang paling dalam. Aku mengenal dan pernah bertemu dengan mereka yang
benar-benar mengalaminya. Aku sendiri terbuang dari keluargaku karena cinta.
Aku mengabaikan peradaban karena cinta. Aku berhenti menjadi dewi karena
cinta.
Orang tua dengan topi jerami itu tiba-tiba saja telah
duduk di sana, ia duduk bersantai satu meja jauhnya dari meja kecil tempatku
duduk sembari mengistirahatkan kaki—dan juga hati. Dia memesan secangkir kopi
panas, bukannya es krim atau jus buah. Cukup aneh mengingat cuaca sedang terik
seperti siang ini. Kemudian, mata kami bertatapan, dan aku langsung tahu siapa
dia. Dan mendadak aku tahu jawabannya.
“Kopi, minuman kaum fana kesukaanku sejak dulu. Cuaca
panas terik sekalipun tidak akan kubiarkan menghalangi kesempatan untuk
menikmati secangkir kopi yang nikmat ini. Mungkin nanti aku harus berbicara
dengan Apollo. Keretanya terlalu lambat akhir-akhir ini.” Kata-katanya sambil
memandang ke langit yang biru cerah.”
Kurasa, dia memang mau berbicara denganku. Dengan
enggan aku melangkah mendekat, menarik kursi rotan yang cokelat kusam di
pinggir meja kopinya. Bayang-bayang payung menaungi kami dari terpaan sinar
matahari yang—anehnya—tidak sepanas seperti di kursiku tadi.
“Mengapa Anda di sini?” tanyaku langsung.
Dia hanya tersenyum kecil, senyumnya sedikit tapi
entah mengapa terlihat begitu berwibawa. Seolah-olah payung-payung matahari di
beranda depan kafe kecil ini menciut sedikit agar tidak menyaingi senyumnya
yang terkembang.
‘Oh, hanya berjalan-jalan. Orang tua seperti aku
sesekali perlu pergi ke luar dan melihat dunia bukan? Aku juga bisa linglung
kalau harus terus bekerja sepanjang waktu.”
“Apakah itu sindiran?” tanyaku, yang kurasa agak
terlalu ketus.
Orang tua itu tertawa lebar. “Aku tidak menyindir. Aku
selalu menghormati mereka yang berani memutuskan dan hidup dengan menjalani
keputusannya itu. Terkadang, mengambil keputusan itulah yang sulit, sisanya cukup
mudah jika kita benar-benar meyakininya.”
“Anda tengah mempertanyakan kembali keputusan yang aku
ambil, atau apakah Anda hendak mengolok-olok nasib saya ini?”
“Jangan salah menafsirkannya anakku. Aku bukan hakim
atau juri, aku hanya mencoba menjadi pengamat, lebih tepatnya penikmat. Masa
kita sudah habis di era ini. Kita tidak lagi bisa sesibuk dulu. Urusan dengan
bangsa manusia ini semakin rumit raja.”
“Anda berbicara berputar-putar seperti awan ribut.”
Sepertinya, metafora yang kugunakan terlalu berlebihan, kurang cocok
malah.
Orang tua itu tersenyum kecil. “Aku di sini hanya
ingin berlibur dan menikmati secangkir kopi nikmat ini. Aku ingin rehat
sejenak, Nak. Tapi aku juga tidak keberatan ketika ada yang ingin berbagi
cerita kepadaku. Bukankah itu yang mereka bilang? Bahwa berbagi merupakan salah
satu esensi sejati dari menjadi manusia? Nah, disinilah aku Nak!”
Aku ragu, ada banyak hal yang ingin kuutarakan dan
kutanyakan kepadanya. Semua hal yang berhubungan dengan cinta ini begitu rumit.
Mungkin ini yang dinamakan orang-orang sebagai kegalauan, seekor monster
emosional yang telah begitu rupa menghantui para pecinta dan pemuja, entah di
dunia nyata maupun di dunia maya. Apakah keputusanku untuk meninggalkan tugasku
itu keliru? Apakah aku terlalu egois?
“Aku jatuh cinta, sesederhana itu. Aku
memperjuangkannya, sesederhana itu. Aku menikmatinya, sesederhana itu. Dan,
tiba-tiba semuanya menjadi tidak sesederhana seperti kelihatannya ketika aku
mulai memikirkan lain dan satu hal.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari
mulutku.
“Aku mendengarkan!” jawabnya.
“Aku jatuh cinta pada seseorang, dan aku kini bingung.
Maksudku, Bulan tidak terlihat seindah seperti kelihatannya jika kita
melihat permukaannya dari dekat. Anda tahu kan maksud saya?” Aku berusaha
menggunakan metafora sederhana itu untuk menyampaikan hal yang sebenarnya
sangat tidak sederhana. Yah, memang sejak kapan sih cinta itu sederhana?
“Begitu, hmmm lanjutkan, aku
mendengarkan.”
Dari dulu, orang tua ini selalu mengejutkanku. Dia
hanya mendengarkan, dan hanya mendengarkan, tidak berusaha menyanggah atau
mempertanyakan. Tepat sebagaimana yang diinginkan wanita dari pria, mendengarkan.
“Kamu ingin tahu bagaimana pendapatku Nak?” katanya
saat melihatku yang tiba-tiba diam selama beberapa saat.
“Eh, sejujurnya, … iya”, kataku.
“Baiklah, aku tidak berniat turut campur, tapi apa pun
yang menjadi pilihanmu, aku mendukungnya.”
Begitu saja!
“Maksud Anda? Anda jangan membuat saya bingung. Maksud
saya, kukira jawaban Anda akan lebih panjang, lebih menasihati begitu!”
Orang tua itu kembali tersenyum, dan selama sekejap
aku merasakan sensasi seperti semua payung matahari di depan kafe ini hendak
menutup sebelum kemudian mengembang terbuka lagi.
“Sebagaimana kataku tadi, aku mendukungmu!”
“Tapi … tapi … maksudku, bagaimana jika keputusan yang
aku ambil ini salah?” keraguan mulai menderaku. “Bagaimana jika mereka
marah?”
“Aku masih ingat kata-kata lantang yang kau ucapkan
dulu … sebentar kalau tidak salah bunyinya “Cinta tidak pernah salah”
bukankah begitu?” matanya menatap tajam diriku, tapi senyumnya tetap seramah
senyum kakek yang tengah menggendong cucu pertamanya.
“Entahlah” kataku lemah. Aku mulai tidak yakin lagi
dengan ucapan heroikku itu.
“Apakah kamu sudah kehilangan keyakinanmu, Nak? Sayang
sekali kalau begitu. Keyakinan itu salah satu dari hal-hal paling mahal di
dunia ini.
“Bukan”, sahutku cepat, “keyakinan dan sumpah yang
telah aku ucapkan masih sekukuh terang. Hanya saja … hanya saja aku masih
bimbang mengingat konsekuensi dari keputusanku ini.”
“Ragu adalah emosi wajar bagi setiap manusia.”
“Aku bukannya ragu, hanya …”
“Kamu hendak bilang bahwa kamu hendak berpaling
lagi?”
“Bukan, aku sangat mencintai Erik, juga Erika,
putriku. Aku tidak akan menukar mereka dengan apa pun, dengan keabadian
sekalipun”, sahutku parau, dan jujur sebetulnya hampir saja aku menangis. Entah
kenapa aku menangis. Emosi manusia memang aneh.
Dan orang tua itu kembali tersenyum, kelepak payung
matahari yang menciut sejenak benar-benar terdengar jelas kali ini. “Aku tahu,
aku percaya itu. Aku yakin dan percaya kepadamu, juga kepada cinta.”
“Tapi, tapi bagaimana dengan nasib mereka. Maksudku,
apakah keputusanku ini akan merusak perjanjian itu? Apakah aku terlalu egois?”
“Engkau tidak egois Nak. Kamu sendiri pernah bilang
bahwa mencintai itu berarti berani berkorban. Nah, menurutku kini cinta sedang
berkorban demi cintamu.” Lagi-lagi, kata-katanya penuh misteri bagiku.
“Maksud Anda?” Aku benar-benar kebingungan.
“Dunia sedang berkorban demi engkau, tidakkah kau
mengerti?” jelasnya singkat.
Aku tidak mengerti, kataku dalam hati. Tapi,
sepertinya orang tua bertopi jerami itu bisa membaca isi hatiku.
“Seperti pernah kamu katakan dulu, Nak, cinta adalah
satu jenis emosi yang luar biasa rumit. Indah sekaligus berbahaya. Tidak kasat
mata namun mampu membangun dan juga menghancurkan. Cinta itu rumit, terlalu
besar untuk diatur dan diarahkan. Kita tidak bisa menyimpan cinta dalam satu
kotak dan kemudian menyerahkan kotak itu kepada satu orang. Cinta terlalu kuat
dan terlalu besar untuk dimiliki sendirian. Kau harus sering-sering bicara
dengan bibimu dan keponakanmu. Mereka sudah terlalu lama keluyuran sambil
membawa panah meraj jambu itu. Tembak sana, tembak sini.” Ia berhenti sejenak.
Menatapku sambil tersenyum jahil, kemudian melanjutkan.
“Orang bisa gila jika ia terus memendam rasa cintanya.
Cinta itu bebas dan membebaskan, cinta itu agung dan merupakan salah satu
ciptaan dari Sang Agung dari Segala yang Agung. Tidak seharusnya cinta itu
diatur dan dikuasai oleh satu entitas. Mengertikah kamu wahai Dewi
Biblio?”
Aku terkesiap. Orang tua itu baru saja menyebut nama
terlarangku. Nama dewi yang kuputuskan telah kubuang saat kukhianati jati diri
dan perwujudan sejatiku. Dia juga hafal benar kalimat-kalimat yang dulu selalu
aku gaung-gaungkan ke hati dan pikiran para makhluk fana, manusia.
“Anda tidak marah dengan keputusanku? Anda tidak ke
sini untuk menghakimiku?” tanyaku, sejujurnya dengan agak takut. Dan, orang tua
itu malah tertawa terbahak-bahak. Kelepak payung matahari kembali terdengar,
agak keras kali ini.
“Apa menurutku aku akan melontarkan petir kepada para
pejuang pemberani yang memperjuangkan prinsipnya? Tidak. Dari dulu aku selalu
mengagumi mereka yang berhati teguh dan kuat keyakinan. Aku selalu menyukai
para pahlawan, menurutmu bagaimana?” jawabnya santai.
“Tapi bagaimana dengan semua hal yang kutinggalkan?
Iskandariah, Bait al Hikmah, perpustakaan-perpustakaan besar di Granada,
buku-buku agung yang menjadi obyek pembakaran di abad pertengahan? Buku dan
perpustakaan sudah kehilangan pelindungnya. Bahkan, perpustakaan kini sepi dan
membosankan. Itu semua karena aku, berpaling dari tugasku sebagai Dewi
Pelindung Buku hanya gara-gara cinta. Seterusnya aku kini harus menjalani cinta
fana ini.” tanyaku masih sangsi dengan jawabannya.
“Huahahaha, kamu terlalu percaya diri Nak?” Orang tua
bertopi jerami itu tertawa lagi. “Sebagaimana aku bilang tadi, cinta terlalu
kuat untuk kamu tanggung sendiri. Cinta itu besar sehingga harus dibagi-bagi,
tidak boleh disimpan sendiri. Bukankah begitu seharusnya?”
“Sekarang, siapa yang jadi Dewa Cinta?” ejekku.
Zeus hanya tertawa lepas, seolah dia hanyalah
kakek-kakek tua berduit yang sedang berlibur di sebuah resor wisata. Tentu saja
kalau dia tidak membawa-bawa tongkat petirnya. “Aku belajar dari dirimu,
Nak!”
“Tapi, bukannya dunia jadi kehilangan dewi pelindung
pustaka karena aku berkhianat dan memilih menjadi manusia biasa demi mengejar
cintaku sendiri?” Kataku melanjutkan.
“Benar, tapi ini bukan masalah benar atau salah. Ini,
rumit begitulah (cinta memang rumit, seperti kata mereka). Begini, sejak ribuan
tahun, dewa-dewi eksis dalam peradaban hanya dalam cerita. Kamu catat itu,
hanya dalam cerita dan legenda. Dengan kata lain, aku adalah sang dewa petir
yang agung, yang terkuat, tapi hanya dalam cerita. Eksistensi kita tergantung
pada persepsi manusia di muka Bumi. Seandainya mereka sudah tidak mempercayai
dewa-dewi lagi, maka Zeus nan agung itu tidak berarti apa-apa kecuali raja dewa
dalam cerita-cerita lama.”
“Maksud Anda, kita ada karena manusia?”
“Benar sekali anakku, lebih tepatnya karena kekuatan
kreativitas manusia. Itulah intinya. Betapa menakjubkannya kekuatan pikiran
mereka, bukan?”
“Jadi,” sambungku, “kaum kita lambat laun akan
menghilang jika manusia kelak melupakan keberadaan kita?”
“Kurang lebih begitu, tapi tidak selalu begitu, ini
agak rumit,” jawabnya penuh teka-teki.
“Dewa-dewi lain mungkin meluruh seiring dengan
hilangnya keyakinan manusia terhadap kaum kita, tapi aku lihat kamu tidak,
anakku.”
“Maksud Anda?” entah sudah berapa banyak aku
menanyakan pertanyaan yang sama.
“Maksudnya begini, dari sekian banyak elemen yang
terwakili oleh para dewa, buku adalah salah satu pilar penopang peradaban.
Karena engkau memutuskan menjadi manusia fanalah maka peradaban Yunani—awal
eksistensi kita—tidak mengenal Dewi Biblio, sang dewi buku. Para sejarahwan
tidak pernah menulis tentang namamu dalam karya-karya mereka tentang mitologi kuno.
Ironis, padahal mereka menulis buku. Tapi, nyatanya, sampai sekarang
masih ada jutaan orang yang mencintai buku, yang membaca buku. Mereka
membanjiri toko buku. Mereka tidak sabar pergi ke pameran buku. Setumpuk buku
di pojokan belum cukup memuaskan dahaga mereka. Manusia mau dan akan terus mau
membaca buku, karena sudah sifat alami mereka untuk mencari tahu. Kau lihat
kan? Bahkan tanpa keberadaan seorang dewi pelindung buku, manusia tetap
mencintai buku?”
Aku melongo lagi. Aku tidak pernah berpikir seperti
itu sebelumnya. Ah iya, aku sekarang makhluk fana, yang terus menerus terlahir
ulang dalam fase-fase kehidupan manusia. Aku berpikir seperti mereka kecuali
pada saat-saat istimewa ketika ilham dewata itu menyentuhku. Seperti saat ini.
Sudah ribuan tahun aku terhukum menjalani cinta yang sama. Yang ironisnya, aku
sendiri sangat bersyukur bisa mengalaminya.
“Hanya kamu, Dewi Biblio yang mampu melepaskan diri
dari belenggu kesombongan dewata dan melebur bersama kehidupan manusia.
Cintalah yang menjadikan dirimu ada, merasakannya dan mampu mewujud di
tengah-tengah manusia seperti saat ini. Karena engkau, lebih banyak manusia
yang mencintai buku lebih daripada mereka mencintai, petir misalnya.” Dia
terkekeh.
Aku ikut terkekeh sejenak lalu berkata. “Yah, memang
awalnya aku tak kuasa menolaknya, seolah-olah ada kekuatan yang lebih tinggi,
kekuatan Sang Maha Cinta yang menarikku di kefanaan. Tapi, kefanaan yang
menyenangkan,” gumamku.
“Begitulah”, lanjutnya, “kefanaan itulah yang
membuatmu menjadi fana, nyata, ada, bisa disentuh, dan lebih utama lagi, bisa
merasakan cinta. Dunia tidak butuh dewi buku karena buku telah ditakdirkan
untuk ada sejak Masa sebelum Masa. Buku tidak untuk dilindungi, tetapi untuk
dibaca dan diamalkan isinya. Itu juga kan yang kamu katakan dulu?”
“Aku mengerti” jawabku mantap dan tidak bingung
lagi.
“Demikianlah anakku, sebagaimana katamu dulu,
manusialah kini yang menjadi para pelindung buku yang sejati. Selama mereka
tetap menulisnya, membacanya, dan menerbitkannya; buku akan selalu ada
terlindungi. Merekalah para martir-martir buku yang sejati. Para kutu buku
itulah titisanmu. Kamu mengerti Nak? Dunia tidak butuh dewi pelindung buku. Dunia
butuh orang-orang yang mencintai buku.”
Aku mengangguk paham. Sekarang, aku mulai
memahami.
“Baiklah. Sampai jumpa lagi kalau begitu. Rupanya
hujan harus turun di suatu tempat di India. Aku harus segera di sana, menyertai
keberadaannya. Semoga harimu menyenangkan, Dewi Biblio.”
Dan, disertai dengan suara gelegar guntur yang aku
yakin hanya aku saja yang bisa mendengarnya, pria bijak dengan topi jerami itu
lenyap, meninggalkan udara berbau ozon dan percikan cahaya elektrik mini. Dunia
modern mungkin sudah kehilangan sang Dewi Buku, tapi aku yakin buku tidak akan
pernah menghilang dari manusia karena kini aku ada di tengah-tengah mereka,
menyatu dengan mengalaminya langsung, memberikannya kepada mereka yang kucintai
dan mencintaiku.
Kemudian, aku melihat suami dan anakku tengah
melambai-lambai ke arahku. Tangan Erika memegang sebatang es krim paling enak
di dunia. “Aku datang, cinta!” kali ini tanpa ragu ataupun galau aku akan
menyambutnya.
Tidak ada yang namanya egois dalam mencintai, kita
egois ketika kita mengabaikannya.
***
Sebelum komen panjang, aku mau minta maaf dulu pada cerpenisnya kalo dirasa komenku frontal.
BalasHapusAku (kayaknya sih) bisa nangkap ide dan maksudnya. Tapi bahasanya berbunga-bunga sekali.
Gak ada yg salah sih dengan bahasa bunga. Cuma bukan seleraku aja :).
Dan rasanya pembahasan tentang cinta dan kegamangan dewi biblio terlalu 'muter' ya. Sempat ada perasaan 'kayaknya dialog semacam ini udah ada deh di atas'.
Lalu....aku gak ngerti di bagian ini :
"Sudah ribuan tahun aku terhukum menjalani cinta yang sama. Yang ironisnya, aku sendiri sangat bersyukur bisa mengalaminya. "
Katanya dewi Biblio itu makhluk fana. Kok hidup terhukum ribuan tahun?
Tapi salut buat cerpenis. Kepikir aja sih bikin tokoh dewi Biblio :)
diksinya melimpah, boo' x_x
BalasHapuskeren ide Dewi Biblionya, meski namanya kurang cantik sih ya *disembur Zeus
Panjang ya cerpennya. Iya nih bahasanya berbunga-bunga. Pasti Dewi Biblio ini terpengaruh si Bella Twillight #eh. Ini suka membaca karya Rick Riordan mesti cerpenisnya. Tapi aisk dibacanya :)
BalasHapusAku salut sama idenya, untuk bikin dewi biblio.
BalasHapusTapi, aku enggak ngerti. Disebutkan buku temuan manusia, kok dia jadi dewinya?
Jadi, dewi ini lahir karena manusia menciptakan buku dan setelah dewinya menjadi fana, dewinya jadi penimbun buku?
*dibakar api cinta #heh
Suka sama: ide Dewi Biblio, kreatif, percakapan sama Zeus
BalasHapusNgga begitu suka sama: narasi yang agak muter-muter, pengulangan tentang sensasi galau, dan ketidakkonsistenan "aku dan saya" dalam percakapan. :)