Senin, 03 Februari 2014

Kepercayaan


Hujan mengguyur kota bagai seember air yang ditumpahkan ke sebuah pot bunga. Air yang jatuh menutupi pandangan, hingga nyaris membutakan orang-orang yang nekat menembusnya. Genangan yang timbul di bawahnya seperti enggan meresap ke dalam tanah atau mengalir ke selokan, semakin tinggi dan tinggi. Angin pun bertiup kencang, membuat pohon-pohon besar bergoyang seakan mau tumbang. Sedangkan wanita itu, yang sejak tadi berteduh di halte yang telah sepi, kedinginan dan kebasahan oleh air hujan yang dibawa oleh angin.

Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, langit masih gelap, air masih tertumpah, angin masih menggila. Jalanan mulai sepi, tak ada orang waras yang ingin keluar rumah dalam kondisi cuaca seperti ini. Mereka yang telah di luar rumah sudah menemukan tempat berteduh yang nyaman dan hangat, di rumah-rumah mereka, di warung-warung, restoran, atau tetap di tempat kerjanya masing-masing. Bus-bus yang biasanya sudah jarang singgah di halte ini pun mungkin memilih untuk melewati jalur lain yang lebih ramai, atau malah tak beroperasi sama sekali. Mungkin sopir dan keneknya sedang asyik merokok di warung entah di mana.

Wanita itu duduk diam, dia tahu akan makan waktu berjam-jam menunggu angkutan umum di sini. Jalanan ini dalam cuaca normal pun sudah sepi. Meski lebar, jalan ini bukan jalur yang biasa dipilih orang. Tidak ada apa-apa di situ. Tidak ada toko, tidak ada warung, tidak ada rumah, dinding-dinding yang terlihat di sepanjang jalan itu hanyalah dinding belakang sebuah pabrik raksasa, tanpa pintu belakang. Sedangkan di sisi lain jalan ada beberapa dinding belakang rumah, juga tanah-tanah kosong yang ditumbuhi ilalang setinggi manusia dewasa.

Dari ujung kepala hingga kaki wanita itu telah terjamah oleh air hujan. Tasnya yang telah basah sebagian disisipkan di ujung kolong bangku halte itu, yang meski tak menjaminnya tetap kering, setidaknya cukup untuk mengamankan isinya. Sedangkan di balik jaketnya, dia memeluk sebuah kantong plastik yang dijaganya mati-matian.

“Sial,” umpatnya saat sebuah sepeda motor melaju kencang dan menyipratkan genangan air ke arahnya. Dia mengerang pelan saat melihat kantong plastik yang dipeluknya terkena sedikit lumpur. Cepat-cepat dibersihkannya kantong plastik itu dengan lengan jaketnya, tanpa berani memeriksa isinya. Genggamannya ke kantong plastik itu semakin erat, sambil memperkirakan keadaan isinya, berharap tak ada lubang kecil yang tak disadarinya, yang bisa menelusupkan air hujan.

Satu jam berikutnya, barulah hujan badai itu mereda menjadi hujan deras saja, tanpa angin. Wanita itu semakin gelisah, harapannya untuk segera mengamankan diri di tempat yang kering terasa semakin jauh. Seandainya bukan karena barang-barangnya ini, dia pasti sudah nekat menembus hujan. Setengah jam berlalu, awan di atasnya masih tebal, dia pun menimbang-nimbang untuk mulai berjalan kaki.

Diraihnya tas jinjing yang sedari tadi di bawah bangku halte. Setelah mengeringkan tangan seadanya dengan bagian bajunya yang masih kering, dia mengambil saputangan dari tasnya, dan mengeringkan bagian luar kantong plastiknya, sebelum semuanya dijejalkan kembali ke dalam tasnya. Dia melepas jaketnya yang sudah setengah basah di bagian luarnya, dan membungkus tasnya dengan jaket tersebut, memeluknya, kemudian berlari menembus hujan.

*** 

“Kemarin aku menunggumu!”

“Yeah, hujan. Lagipula sudah kubilang aku tak jadi datang, aku takut buku temanmu kebasahan.” 

Tampaknya yang diajak bicara tak terlalu memperhatikan kalimat terakhir tersebut karena sibuk mengaduk-aduk tasnya. Tak lama kemudian dia mengeluarkan dua buah buku dari dalam tasnya, “Sorry ya, kemarin kehujanan sedikit, tapi selamat kok bukunya.” 

Wanita itu tercenung sesaat sebelum menerima kedua buah buku yang dipinjamkannya. Salah satu buku kesayangannya--yang telah dibacanya tiga kali sebelum dipinjamkan kepada temannya, kini ujung bawahnya melengkung dan kekuningan bekas terkena air. Dibukanya halaman pertama buku tersebut untuk memastikan bahwa buku ini memang miliknya, ternyata memang tertulis jelas namanya dengan tulisan tangannya sendiri di situ. Ditelusurinya halaman demi halaman yang kini penuh dengan bekas lipatan, bahkan di seperempat akhir halaman-halaman buku itu hampir terlepas. Ada pula bekas sidik jari di salah satu halaman, yang sepertinya terkena remahan makanan. 

Ditelitinya buku yang sebuah lagi, buku yang memang dibelinya dalam kondisi bekas, tapi masih bagus. Buku yang dicarinya dengan susah payah dari satu toko ke toko yang lain itu kini nyaris tak berbentuk lagi. Halaman-halamannya sudah hampir terlepas, bekas-bekas lipatan juga ada, meski yang ini tanpa noda dan lengkungan bekas terkena air. 

Dia tak bicara, memandang teman lamanya, tak tahu harus berkata apa. Orang di hadapannya adalah temannya selama sembilan tahun saat di bangku sekolah, seharusnya mereka sudah saling kenal. Namun perpisahan selama empat tahun tampaknya menimbulkan jarak yang begitu jauh, dia tak mengenal orang ini sama sekali. 

“Na, ini kan masih baru waktu kupinjamkan ke kamu,” ujarnya dengan nada ringan, lebih karena tak ingin menyinggung perasaan lawan bicaranya. 

“Iyalah lecek sedikit, kan kubaca beneran, dari awal sampai akhir. Bagus banget ya bukunya, pantesan best seller. Tapi aku sebal sama endingnya, masa mati sih, ga asyik banget.” 

Dia terdiam, tak sanggup lagi mengomentari kata-kata orang di hadapannya. Masih bisakah dia menyebutnya teman? Orang asing? Orang yang pernah jadi temannya? 

“Ini buku temanmu, tolong bilang terima kasih ya,” katanya sambil menyodorkan sebuah buku yang tersampul rapi dan masih mulus. 

“Wah, rajin banget disampul segala, masih mulus lagi. Ga dibaca ya?” balasnya dengan nada menggoda.

“Dibaca lah, aku kan hati-hati dengan barang pinjaman. Lagipula buku ini sudah susah nyarinya, untung waktu itu kamu bilang kalau temanmu punya.”

Lawan bicaranya hanya tertawa, tak merasa tersindir dengan kata-katanya. Tiba-tiba sebuah jarak tak terlihat memisahkan kedua kawan lama itu. Wanita itu sudah tak berkonsentrasi untuk berbasa-basi lebih jauh dengan orang itu, perasaannya sudah kacau-balau, antara terkejut, marah, dan sakit hati. Dia berbohong bahwa ada janji yang memaksanya untuk pergi secepatnya. Mereka pun berpisah, kali ini dengan cara yang berbeda, pandangan yang berbeda.

Wanita itu berjalan melewati jalanan sepi yang dibatasi oleh dinding-dinding belakang pabrik dan rumah, serta tanah kosong yang ditumbuhi alang-alang. Dia melangkah perlahan, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia ingin memaafkan temannya itu, lebih dari sepuluh tahun mereka berkawan akrab, meski empat tahun mereka berpisah nyaris tanpa komunikasi. Beberapa bulan yang lalu mereka bertemu secara tak sengaja, bertukar kontak yang baru dan mulai saling berbincang meski intensitasnya tak seperti dulu. Kesibukan yang berbeda, lingkungan yang berbeda, mungkin itu yang mengubah mereka. Kini mereka bagaikan sepasang orang asing yang bertemu, kemudian mengingat bahwa di ‘kehidupan yang lalu’ mereka pernah sejalan.

Bayangan tentang kedua bukunya masih melekat erat di benaknya, keadaannya yang menyedihkan, pun kekecewaan yang ditimbulkan karenanya. Bukan buku itu yang paling membuatnya sedih, bukan--meski itu juga menyakitkan. Sekali lagi, dia kehilangan kepercayaan. Di dunia ini, semakin sedikit orang yang bisa dipercaya, dan dari sedikit orang yang dia pikir layak untuk mendapatkan kepercayaan itu, ternyata menyia-nyiakannya, menginjak-injaknya, membuangnya.

Hanya jalanan ini yang bisa menemani dan mendengarkan keluh kesahnya, karena orang lain menganggapnya tak penting. Apa yang penting bagi orang-orang sulit dia mengerti, pun sebaliknya. Di jalanan ini dia berjalan, di jalanan ini dia menata kembali perasaannya. Di jalanan ini dia akan pulih kembali. Hanya jalanan ini yang dia percaya, jalanan ini dan dirinya, sendiri.

*****


8 komentar:

  1. Ide ceritanya menarik.
    Hanya di bagian percakapan antara si wanita dengan temannya mesti dibaca pelan-pelan, untuk tahu siapa yg sedang berbicara. Kalau dikasih nama mungkin lebih baik.

    BalasHapus
  2. speechless.. penasaran sama org yg memang bersikap seperti itu sama buku.. hmm...

    BalasHapus
  3. Mengaminkan ucapan desty : idenya menarik. Bahasanya juga ringan dan gampang dikunyah.
    Siapa pun yg nulis ini, sepertinya dia tipe yg fokus ke setting ya

    BalasHapus
  4. Hoho, kaya detail. Itu temennya cewek apa cowok ya? *anggep aja penting x)

    BalasHapus
  5. Iya penarasian settingnya detail banget, dialognya minim. Dan memang pas bagian dialog kudu baca pelan2 soalnya perbedaan karakternya agak samar. Tapi entah mengapa aku terbuai sama narasi settingnya yang terasa nyaman

    BalasHapus
  6. idenya sederhana dan mencerminkan yang nulis --> pecinta buku sejati :D

    BalasHapus
  7. Sedih amat bacanyaa :(
    Kok aku malah jadi inget kak Luna ya, soal buku yang kena air, haha..
    Benar, mungkin kalau ada namanya, lebih seru bacanya.
    Kalaupun gak ada nama, mungkin bisa langsung aja ke bagian kedua biar enggak kepanjangan #seenaknya

    BalasHapus
  8. sempet agak bingung wanita yang mana itu siapa, karena nggak ada nama atau deskripsi yang khas. tapi setelah dibaca dua kali baru mudeng sama perbedaan karakternya. temanya simpel tapi kena, terutama untuk bookworm :)

    BalasHapus

 
Rumah Cerita - Blogger Templates, - by Templates para novo blogger Displayed on lasik Singapore eye clinic.