Hujan mengguyur kota bagai seember air yang
ditumpahkan ke sebuah pot bunga. Air yang jatuh menutupi pandangan, hingga
nyaris membutakan orang-orang yang nekat menembusnya. Genangan yang timbul di
bawahnya seperti enggan meresap ke dalam tanah atau mengalir ke selokan,
semakin tinggi dan tinggi. Angin pun bertiup kencang, membuat pohon-pohon besar
bergoyang seakan mau tumbang. Sedangkan wanita itu, yang sejak tadi berteduh di
halte yang telah sepi, kedinginan dan kebasahan oleh air hujan yang dibawa oleh
angin.
Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, langit masih gelap, air masih tertumpah, angin masih menggila. Jalanan mulai sepi, tak ada orang waras yang ingin keluar rumah dalam kondisi cuaca seperti ini. Mereka yang telah di luar rumah sudah menemukan tempat berteduh yang nyaman dan hangat, di rumah-rumah mereka, di warung-warung, restoran, atau tetap di tempat kerjanya masing-masing. Bus-bus yang biasanya sudah jarang singgah di halte ini pun mungkin memilih untuk melewati jalur lain yang lebih ramai, atau malah tak beroperasi sama sekali. Mungkin sopir dan keneknya sedang asyik merokok di warung entah di mana.
Wanita itu duduk diam, dia tahu akan makan waktu
berjam-jam menunggu angkutan umum di sini. Jalanan ini dalam cuaca normal pun
sudah sepi. Meski lebar, jalan ini bukan jalur yang biasa dipilih orang. Tidak
ada apa-apa di situ. Tidak ada toko, tidak ada warung, tidak ada rumah,
dinding-dinding yang terlihat di sepanjang jalan itu hanyalah dinding belakang
sebuah pabrik raksasa, tanpa pintu belakang. Sedangkan di sisi lain jalan ada
beberapa dinding belakang rumah, juga tanah-tanah kosong yang ditumbuhi ilalang
setinggi manusia dewasa.
Dari ujung kepala hingga kaki wanita itu telah
terjamah oleh air hujan. Tasnya yang telah basah sebagian disisipkan di ujung
kolong bangku halte itu, yang meski tak menjaminnya tetap kering, setidaknya
cukup untuk mengamankan isinya. Sedangkan di balik jaketnya, dia memeluk sebuah
kantong plastik yang dijaganya mati-matian.
“Sial,” umpatnya saat sebuah sepeda motor melaju
kencang dan menyipratkan genangan air ke arahnya. Dia mengerang pelan saat
melihat kantong plastik yang dipeluknya terkena sedikit lumpur. Cepat-cepat
dibersihkannya kantong plastik itu dengan lengan jaketnya, tanpa berani
memeriksa isinya. Genggamannya ke kantong plastik itu semakin erat, sambil
memperkirakan keadaan isinya, berharap tak ada lubang kecil yang tak
disadarinya, yang bisa menelusupkan air hujan.
Satu jam berikutnya, barulah hujan badai itu mereda
menjadi hujan deras saja, tanpa angin. Wanita itu semakin gelisah, harapannya
untuk segera mengamankan diri di tempat yang kering terasa semakin jauh.
Seandainya bukan karena barang-barangnya ini, dia pasti sudah nekat menembus
hujan. Setengah jam berlalu, awan di atasnya masih tebal, dia pun
menimbang-nimbang untuk mulai berjalan kaki.
Diraihnya tas jinjing yang sedari tadi di bawah bangku
halte. Setelah mengeringkan tangan seadanya dengan bagian bajunya yang masih
kering, dia mengambil saputangan dari tasnya, dan mengeringkan bagian luar
kantong plastiknya, sebelum semuanya dijejalkan kembali ke dalam tasnya. Dia
melepas jaketnya yang sudah setengah basah di bagian luarnya, dan membungkus
tasnya dengan jaket tersebut, memeluknya, kemudian berlari menembus hujan.
***
“Kemarin aku menunggumu!”
“Yeah, hujan. Lagipula sudah kubilang aku tak jadi
datang, aku takut buku temanmu kebasahan.”
Tampaknya yang diajak bicara tak terlalu memperhatikan
kalimat terakhir tersebut karena sibuk mengaduk-aduk tasnya. Tak lama kemudian
dia mengeluarkan dua buah buku dari dalam tasnya, “Sorry ya, kemarin kehujanan
sedikit, tapi selamat kok bukunya.”
Wanita itu tercenung sesaat sebelum menerima kedua
buah buku yang dipinjamkannya. Salah satu buku kesayangannya--yang telah
dibacanya tiga kali sebelum dipinjamkan kepada temannya, kini ujung bawahnya
melengkung dan kekuningan bekas terkena air. Dibukanya halaman pertama buku
tersebut untuk memastikan bahwa buku ini memang miliknya, ternyata memang
tertulis jelas namanya dengan tulisan tangannya sendiri di situ. Ditelusurinya
halaman demi halaman yang kini penuh dengan bekas lipatan, bahkan di seperempat
akhir halaman-halaman buku itu hampir terlepas. Ada pula bekas sidik jari di
salah satu halaman, yang sepertinya terkena remahan makanan.
Ditelitinya buku yang sebuah lagi, buku yang memang
dibelinya dalam kondisi bekas, tapi masih bagus. Buku yang dicarinya dengan
susah payah dari satu toko ke toko yang lain itu kini nyaris tak berbentuk
lagi. Halaman-halamannya sudah hampir terlepas, bekas-bekas lipatan juga ada,
meski yang ini tanpa noda dan lengkungan bekas terkena air.
Dia tak bicara, memandang teman lamanya, tak tahu
harus berkata apa. Orang di hadapannya adalah temannya selama sembilan tahun
saat di bangku sekolah, seharusnya mereka sudah saling kenal. Namun perpisahan
selama empat tahun tampaknya menimbulkan jarak yang begitu jauh, dia tak
mengenal orang ini sama sekali.
“Na, ini kan masih baru waktu kupinjamkan ke kamu,”
ujarnya dengan nada ringan, lebih karena tak ingin menyinggung perasaan lawan
bicaranya.
“Iyalah lecek sedikit, kan kubaca beneran, dari awal
sampai akhir. Bagus banget ya bukunya, pantesan best seller. Tapi aku
sebal sama endingnya, masa mati sih, ga asyik banget.”
Dia terdiam, tak sanggup lagi mengomentari kata-kata
orang di hadapannya. Masih bisakah dia menyebutnya teman? Orang asing? Orang
yang pernah jadi temannya?
“Ini buku temanmu, tolong bilang terima kasih ya,”
katanya sambil menyodorkan sebuah buku yang tersampul rapi dan masih mulus.
“Wah, rajin banget disampul segala, masih mulus lagi.
Ga dibaca ya?” balasnya dengan nada menggoda.
“Dibaca lah, aku kan hati-hati dengan barang pinjaman.
Lagipula buku ini sudah susah nyarinya, untung waktu itu kamu bilang kalau
temanmu punya.”
Lawan bicaranya hanya tertawa, tak merasa tersindir
dengan kata-katanya. Tiba-tiba sebuah jarak tak terlihat memisahkan kedua kawan
lama itu. Wanita itu sudah tak berkonsentrasi untuk berbasa-basi lebih jauh
dengan orang itu, perasaannya sudah kacau-balau, antara terkejut, marah, dan
sakit hati. Dia berbohong bahwa ada janji yang memaksanya untuk pergi
secepatnya. Mereka pun berpisah, kali ini dengan cara yang berbeda, pandangan
yang berbeda.
Wanita itu berjalan melewati jalanan sepi yang
dibatasi oleh dinding-dinding belakang pabrik dan rumah, serta tanah kosong
yang ditumbuhi alang-alang. Dia melangkah perlahan, memikirkan apa yang baru
saja terjadi. Dia ingin memaafkan temannya itu, lebih dari sepuluh tahun mereka
berkawan akrab, meski empat tahun mereka berpisah nyaris tanpa komunikasi.
Beberapa bulan yang lalu mereka bertemu secara tak sengaja, bertukar kontak
yang baru dan mulai saling berbincang meski intensitasnya tak seperti dulu.
Kesibukan yang berbeda, lingkungan yang berbeda, mungkin itu yang mengubah
mereka. Kini mereka bagaikan sepasang orang asing yang bertemu, kemudian
mengingat bahwa di ‘kehidupan yang lalu’ mereka pernah sejalan.
Bayangan tentang kedua bukunya masih melekat erat di
benaknya, keadaannya yang menyedihkan, pun kekecewaan yang ditimbulkan
karenanya. Bukan buku itu yang paling membuatnya sedih, bukan--meski itu juga
menyakitkan. Sekali lagi, dia kehilangan kepercayaan. Di dunia ini, semakin
sedikit orang yang bisa dipercaya, dan dari sedikit orang yang dia pikir layak
untuk mendapatkan kepercayaan itu, ternyata menyia-nyiakannya,
menginjak-injaknya, membuangnya.
Hanya jalanan ini yang bisa menemani dan mendengarkan
keluh kesahnya, karena orang lain menganggapnya tak penting. Apa yang penting
bagi orang-orang sulit dia mengerti, pun sebaliknya. Di jalanan ini dia
berjalan, di jalanan ini dia menata kembali perasaannya. Di jalanan ini dia
akan pulih kembali. Hanya jalanan ini yang dia percaya, jalanan ini dan
dirinya, sendiri.
*****
Ide ceritanya menarik.
BalasHapusHanya di bagian percakapan antara si wanita dengan temannya mesti dibaca pelan-pelan, untuk tahu siapa yg sedang berbicara. Kalau dikasih nama mungkin lebih baik.
speechless.. penasaran sama org yg memang bersikap seperti itu sama buku.. hmm...
BalasHapusMengaminkan ucapan desty : idenya menarik. Bahasanya juga ringan dan gampang dikunyah.
BalasHapusSiapa pun yg nulis ini, sepertinya dia tipe yg fokus ke setting ya
Hoho, kaya detail. Itu temennya cewek apa cowok ya? *anggep aja penting x)
BalasHapusIya penarasian settingnya detail banget, dialognya minim. Dan memang pas bagian dialog kudu baca pelan2 soalnya perbedaan karakternya agak samar. Tapi entah mengapa aku terbuai sama narasi settingnya yang terasa nyaman
BalasHapusidenya sederhana dan mencerminkan yang nulis --> pecinta buku sejati :D
BalasHapusSedih amat bacanyaa :(
BalasHapusKok aku malah jadi inget kak Luna ya, soal buku yang kena air, haha..
Benar, mungkin kalau ada namanya, lebih seru bacanya.
Kalaupun gak ada nama, mungkin bisa langsung aja ke bagian kedua biar enggak kepanjangan #seenaknya
sempet agak bingung wanita yang mana itu siapa, karena nggak ada nama atau deskripsi yang khas. tapi setelah dibaca dua kali baru mudeng sama perbedaan karakternya. temanya simpel tapi kena, terutama untuk bookworm :)
BalasHapus