“Kamu masih tetap mau pergi?”
Aku memandang wajahmu dari samping. Entah apa yang aku
cari, mungkin aku masih belum yakin apakah kamu benar-benar akan
meninggalkanku.
”Iya.” Dingin suaramu menunjukkan betapa kamu tak
ingin diganggu.
Sekilas aku melirik ke jam dinding yang tergantung di
atas loket, setengah jam lagi dari jadwal keberangkatanmu.
”Jangan pergi,” bisikku. Berharap kamu mau
mendengarkan pinta terakhirku kali ini, meski sebenarnya aku yakin tak akan
mampu mengubah pendirianmu.
”Kereta Argo Dwipangga akan masuk di jalur satu. Bagi
para calon penumpang Argo Dwipangga, dimohon untuk bersiap-siap di peron tinggi
jalur satu.”
Suara dari kepala stasiun memenuhi ruangan. Beberapa
orang aku lihat mulai bersalam-salaman tanda perpisahan. Tapi aku masih duduk
diam, aku tak mau berpisah darimu, tekadku.
”Aku pergi, Nad. Maaf. Tapi lupakan saja aku dan semua
kisah kita.”
Kamu memegang tanganku lalu melangkah masuk ke dalam
peron.
Aku tak berani mengejarmu, karena sejatinya hatiku
sudah terlalu luka. Tak mungkin aku menangis tergugu di ruang ramai ini, meski
sebenarnya perih mengoyak.
Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar ruang tunggu,
langit malam di atas stasiun terasa sangat damai. Aku duduk di selasar stasiun
yang agak sepi. Menitikkan air mata yang seakan tiada henti hingga seseorang
menepuk bahuku.
--
”Nadia.” Aku menepuk bahu gadis yang duduk dalam
remang remang lampu stasiun.
”Aku boleh duduk di sini?”
Aku melihat sekilas ke wajahnya yang sayu. Matanya
sembab, aku yakin dia pasti habis menangis. Kami duduk dalam hening.
”Kamu mau ke mana, Da?” Gadis itu menatapku.
“Aku dari Jogja, ini baru mau pulang. Tadi naik Kereta
Prameks terakhir, mana pakai ngadat di tengah jalan, duh makanya jam segini
baru sampai Solo.” Aku mencoba membuka percakapan lebih panjang.
“Oh.” Gadis itu hanya tersenyum lalu memandang jauh ke
langit hitam berbintang.
“Kamu.. kamu kok sendirian di stasiun, Nad? Fajar jadi
berangkat ke Jakarta?” tanyaku.
”Iya... dia.. dia mutusin aku, Da.” Gadis itu
menitikkan air matanya lagi.
Aku jadi salah tingkah. Ketahuilah, tak ada lelaki
yang luluh kalau melihat air mata seorang wanita.
“Eh, aku turut berduka,” ucapku sekenanya. Sungguh aku
tak tahu harus berkomentar apa. Gadis ini sebenarnya adalah satu-satunya gadis
yang aku suka, tapi aku tak pernah berani mengatakan hal itu padanya sebab aku
tahu ia sudah ada yang punya. Lalu kalau ia putus dengan pacarnya, aku tak tahu
harus bahagia atau benar-benar turut berduka?
“Hahaha. Kamu lucu. Nggak usah berduka. Toh memang
hubungan kami sudah dingin sejak lama. Aku saja yang tak mau benar-benar
mengakui kalau ia sudah tak suka lagi denganku.” Nadia tertawa meski kulihat
sekejap matanya masih berkaca-kaca.
“Kamu mau pulang? Aku antar ya?” Aku memberanikan diri
memegang tangannya.
“Aku masih mau di sini saja, Da. Kalau kamu pulang
duluan, silakan.” Sebuah senyuman disunggingkan untukku.
Tak perlu dipikir lagi untuk menjawab penolakan itu,
”Aku tunggu di sini saja, biar menemani kamu juga,” kataku.
--
Sabda enggan beranjak dari sebelahku. Aku tersenyum
padanya. Ah, lelaki ini, yang sampai sekarang diam-diam sebenarnya masih ada di
hatiku. Atau benarkah begitu? Jangan-jangan ini hanya kebodohanku karena
mencoba segera mencari pengganti Fajar yang telah hilang lalu?
”Kamu dingin? Nih pakai saja jaketku.” Sabda
menyelimuti bahuku dengan jaketnya. Aroma khas tubuhnya menguar di pikiranku.
Aku merindukan Sabda, orang yang dulu pernah amat
dekat denganku sebelum aku berkenalan dengan Fajar. Bisa dibilang, selama ini
Sabda telah rela menjadi ’tong sampah’ keluh kesahku. Sayangnya semenjak aku
berpacaran dengan Fajar, aku mulai jarang berhubungan dengan Sabda. Tapi
kemudian aku selalu merindukannya, diam-diam.
Mungkin benar aku jatuh cinta dengannya? Namun
pantaskah aku?
Aku melirik Sabda yang sedang memanggil penjual wedang
ronde.
”Kamu mau?” tanyanya.
”Boleh.” Saat dingin begini, aku rasa semangkuk Ronde
akan melegakan pikiranku.
”Tolong dibuatkan dua mangkuk ya, Pak.”, kata Sabda.
”Fajar memangnya mau ke mana, Nad?”, Sabda bertanya
padaku sambil menyesap wedang rondenya.
”Dia keterima kerja di Jakarta. Sebenarnya kami sudah
renggang sejak dua bulan yang lalu. Tapi aku selalu takut ditinggal dia pergi,
makanya mungkin hari ini adalah momen yang tepat baginya untuk memutuskan
hubungannya denganku.”
”Kamu kan dulu juga happy-happy aja tanpa
Fajar.”, kata Sabda.
”Iyakah?” Aku tertawa, rasanya sudah lama aku tak
mengingat lagi bagaimana kebersamaanku dengan Fajar, Toh sebenarnya dia sudah
enyah lama dari hatiku.
”Beneran. Lagian kan kamu masih punya aku.” Sabda
tersenyum sambil mengedipkan matanya dengan genit.
--
Kami menghabiskan malam itu dengan banyak tawa berdua.
Rasanya setelah menghabiskan wedang ronde, semua kebekuan kami sirna. Senyum
bahagia juga tampak di muka Nadia. Kalau saja aku bisa menghentikan wkatu, aku
ingin memotongnya di bagian ini, di stasiun ini, saat ini.
Debar jantungku semakin tidak karuan berada di dekat
Nadia. Haruskah aku mengutarakan Cinta? Pantaskah? Sedang tadi dia baru saja
sedih ditinggal pergi kekasihnya.
”Nad....” Aku menggenggam jemari tangannya yang
hangat.
”Eh, kenapa Da?” Ia memperhatikanku.
”Aku... aku... aku suka kamu, Nad,” kataku.
Nadia diam, melepaskan genggaman tanganku lalu
membuang muka dariku. Sial, sepertinya langkahku hari ini terlalu berani. Tapi
bagaimana lagi?
”Aku sudah lama suka sama kamu, Nad.” Aku diam,
memandangi langit yang gelap dan stasiun yang mulai sepi.
”Dulu aku pernah ingin menyatakan perasaanku, tapi
sepertinya kamu lebih memilih Fajar. Tentu aku tak mau kebahagiaanmu
terenggut.”
Nadia tetap diam. Aku tak berani memandanginya.
”Kamu ingat, sejak dulu kita selalu dekat, hanya
karena Keegoisan Fajar kemudian aku menjauh darimu. Aku tak mau hadirku
membuatmu terluka disakiti dia. Makanya aku biarkan kalian berbahagia. Tapi
ternyata Fajar memang bukan lelaki yang cocok denganmu. Sejak itu aku
berketetapan, suatu hari nanti kalau kamu sudah sendiri lagi, aku akan
mengatakan perasaanku yang sejujurnya sama kamu.” Aku menoleh ke arah Nadia
yang ternyata sedang memandangiku.
--
”Kamu mau menikah denganku?”
Kata-kata Sabda membuatku hampir pingsan saking
kagetnya.
Kami memang sudah kenal sejak lama, tapi bagaimana
mungkin saat ini? Sekarang? Di tempat ini ia melamarku?
”Kamu nggak usah buru-buru menjawabnya. Aku hanya
ingin menyatakan bahwa aku benar-benar sayang sama kamu, Nad. ” Sabda tersenyum
kaku kepadaku.
Haruskah kujawab? Perasaanku? Setelah baru saja
disakiti seorang pria? Tapi toh...
”Aku juga suka kamu, Da. Tapi kita jalan pelan-pelan
dulu, ya. Aku belum yakin apa orang tuaku mengizinkanku menikah denganmu.” Aku
tersenyum sambil menggenggam tangan Sabda.
Cinta boleh pergi, tapi apapun yang pergi pasti akan
kembali, meski ia dalam bentuk yang berbeda. Yang lebih berbahagia.
suka sama gaya penceritaannya yang ganti2 sudut pandang ala2 eleanor & park XD tapi endingnya terlalu buru2 ya? kayaknya sabda bad timing banget nyatain cinta ke nadia beberapa menit setelah fajar mutusin dia XD
BalasHapusitu Nadia langsung nerima mungkin karena baru putus cinta kali ya *dibahas
BalasHapusIni Zelie nih, jangan ditanya lagi ini siapa #masihsebelsamaKakDani xD
BalasHapusSuka sama gaya bahasanya, tapi ada typo, pasti salah Kak Dani #nuduh
Terus, iyaa, bad timing banget ngajak nikah pas lagi patah hati. Mustinya, bisa dibikin lebih lambat lagi. Misalnya, mereka menikmati hari itu bersama dan yaaa enjoy aja, hueheh..
Suka nama tokohnya. Sabdaaa :))
BalasHapus