Ciputat adalah salah satu kota terpanas di dunia. Kota yang berdebu dan berasap. Kota ini juga selalu padat, dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang selalu merasa sibuk. Keadaannya pun sama seperti pagi ini; mobil, motor dan angkot mulai merayap, berjalan perlahan menuju arah Jakarta. Berkerumun dan padat. Sementara para pejalan kaki juga tak mau kalah, mereka bergegas menuju pasar, sekolah, kampus dan kantor. Ciputat memang sibuk.
Matahari yang sudah menggantung sejak subuh mulai mencurahkan sinarnya yang terasa hangat di kulit dan baik untuk tulang. Para ibu menyusui bergembira menggendong bayi mereka keluar rumah untuk berjemur. Seperti yang dilakukan ibu gemuk dengan bayi perempuannya sekarang ini. Mereka sedang menumpang duduk di depan Rumah Dara, indekos khusus mahasiswi dan karyawati.
Indekos Rumah Dara ada di ujung gang dekat perempatan. Posisinya cukup strategis meski tidak terlalu dekat dengan kampus. Di sebelah barat indekos, mini market dan warteg berdiri bersisian. Tak jauh dari sana kantor polisi berdiri menghadap jalan besar. Sementara dari Rumah Dara mengarah ke timur ada mushola kecil, warung fotokopi, warnet, wartel dan toko buku.
KLONTANG. Si ibu dengan bayi perempuannya tadi tampak tersentak mendengar gerbang Rumah Dara terbuka. Ia melirik bagian dalamnya, ada garasi dan ruang tunggu. Sedetik kemudian salah satu penghuninya keluar. Ia seorang gadis bernama Rana.
“Hai Bu Indah! Pagi-pagi udah asyik berjemur nih,” sapa Rana sumringah. Gadis 18 tahun ini memang selalu saja sumringah.
“Iya dong, Ran. Kan kita ga mau kalah sama bule,” kata ibu bertubuh gempal dengan lipatan leher yang terlihat jelas. Rana pun meresponnya dengan tertawa riang, seolah-olah itu adalah lelucon terbaik yang pernah ia dengar.
“Mau kemana Ran? Ngampus?” tanya Bu Indah lagi sambi sesekali mengusap kening bayinya yang halus.
“Begitulah, Bu. Ada 3 mata kuliah hari ini,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oke deh. Hati-hati ya,” ujar Bu Indah seraya berdiri perlahan. Meski berbadan besar, ia tampak tidak terbebani dengan berat badannya. Rana mengangguk mantap sambil berbelok ke arah timur, jalan yang paling nyaman menuju kampus. Di sebelah timur itu pula jalan tempat warung fotokopi Maju Jaya berada.
Fotokopi Maju Jaya bukanlah jenis warung fotokopi yang rapi dan tertata. Seakan maklum dengan padatnya kegiatan setiap hari, pemilik, karyawan dan para pelanggan sudah terbiasa dengan situasi kapal pecah ini. Dua mesin fotokopi besar yang terlihat jelas dari luar tampak dipenuhi kertas dan berdebu. Tumpukan kertas, buku-buku pelajaran dan makalah hasil fotokopi menumpuk di sana sini. Kertas-kertas bekas juga bertebaran dimana-mana, termasuk diatap mobil kijang 90-an milik Pak Amru, pemilik warung fotokopi Maju Jaya. Menambah sumpeknya warung, empat komputer rakitan yang juga berdebu ditempatkan di sisi dalam. Selain jasa fotokopi, warung ini juga berfungsi sebagai rental komputer dan menjual berbagai ATK.
Mata Rana tertuju pada etalase kecil yang memamerkan alat tulis yang kurang lengkap dan berantakan. “Ehem, pagi Pak Amru,” sapanya riang.
“Eh, Ran. Pagi. Mau beli pensil lagi? Bukannya kamu baru kemarin beli dua pensil,” jawab Pak Amru sambil merapikan beberapa buntelan fotokopi. Sesekali matanya melirik dua karyawannya yang sedang bersih-bersih seadanya sebelum mulai bekerja.
Rana sedikit tersipu, ada perasaan tidak enak ditanya seperti itu. Karena sesungguhnya ia memang tidak tahu mengapa ia mampir ke warung fotokopi sepagi ini.
“Emm, masih ada kok Pak pensilnya. Hanya mau menyapa saja,” Rana mempertahankan senyumnya untuk menutupi perasaan salah tingkah.
“Ooh, begitu toh. Hahaha,” Pak Amru menggelengkan kepalanya. Laki-laki setengah baya itu masih sibuk memegang buntelan. Rana kembali tersenyum-senyum, menunggu ucapan lagi dari Pak Amru. Sayangnya ia hanya terdiam setelah itu, membuat Rana semakin linglung.
Gadis itu hanya menuruti kata hatinya. Meresponnya dengan tanggap. Pagi ini seperti hari-hari biasanya Rana ingin berada di warung fotokopi sejenak sebelum menuju kampus. Tidak ada buku yang ingin ia fotokopi atau alat tulis yang ingin ia beli. Karena memang bukan itu alasannya. Ada alasan lain yang jauh lebih kuat daripada itu.
“Eh, ada Mbak Rana,” sapa sebuah suara berat di belakangnya. Rana tersentak. Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat.
“Iya Mas Po. Baru datang nih?” Gadis itu menyapa laki-laki itu sambil meremas tangannya kuat-kuat.
“Iya nih. Jadi ngga enak aku sama Pak Bos,” Po melirik Pak Amru Jenaka. Ia juga mengedipkan mata ke arah dua temannya.
BUKK! Terdengar suara benda tumpul membentur sesuatu. Kemudian semua mata mengarah kepada Po yang terhenyak. Lelaki berambut gondrong itu diam karena kaget.
“Hahahhaha! Kualat kowe!” sembur Adi, salah seorang karyawan Pak Amru. Tawa Adi memicu tawa keras Pak Amru dan juga Ramon, karyawan Pak Amru yang paling muda. Sementara Rana hanya cekikikan sambil menutupi mulutnya.
Po sendiri hanya tersenyum kecut sambil memungut dua buah bundel TOEFL berhalaman tebal yang tadi mengenai bahunya. Ternyata ia tak sadar menyenggol rak kayu yang sudah doyong dan menyebabkan kedua bundel tadi jatuh menimpa dirinya.
“Jadi, Mbak Rana mau potokopi apa pagi ini?” Po menawarkan senyum terkembangnya. Mengintip dari dalam mulutnya, bekas dua gigi kelinci yang telah tanggal. Po bergigi ompong dan Rana sudah tahu itu.
“Heehh. Malah godain cewek. Cepetan sini bantuin,” kata Adi lagi. Sementara Pak Amru hanya geleng-geleng sambil berjalan menuju meja yang sudah tersedia empat buah cangkir kopi diatasnya.
“Ada yang mau difotokopi, Mbak?” Po bertanya lagi, tak menghiraukan Adi.
“Err, ngga ada kok, Mas. Saya cuma mampir aja. Menyapa sebentar sebelum kuliah,” Rana menarik dua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman manis. Ia mengira-ngira sudah cukup maniskah ia tersenyum?
“Hoo, tak kira ada yang mau dikopi. Baiklah Mbak, selamat berkuliah,” jawab Po sambil menunjukkan gigi ompongnya sekali lagi. Tangannya bergerak memutar topi baseball-nya dengan posisi cap di bagian belakang kepala.
“OK. Terima kasih, Mas Po, Pak Amru dan semuanya. Mari,” kata Rana menutup pertemuan pagi itu. Ia tak hanya berterima kasih pada Po, namun juga semua yang ada di warung fotokopi itu. Kini hatinya membuncah bahagia. Ada semburan kehangatan yang berasal dari jantung menuju urat-urat nadi yang tak bisa ia hitung jumlahnya.
Entah sejak kapan Rana pertama kali bertemu dengan Po. Tidak ada kisah berkesan seperti kisah-kisah romantis. Tidak ada kisah Rana yang terpeleset dan jatuh menimpa Po. Tidak ada juga kisah sapu tangan Rana yang tertinggal kemudian dikembalikan Po. Semuanya berjalan seperti adegan biasa-biasa saja yang memang biasa terjadi pada kehidupan nyata orang-orang biasa. Rana pergi ke warung fotokopi Maju Jaya untuk menggandakan beberapa lembar kertas atau hanya sekedar membeli alat tulis dan berurusan dengan komputer dan printer butut.
“Hai Bu Indah! Pagi-pagi udah asyik berjemur nih,” sapa Rana sumringah. Gadis 18 tahun ini memang selalu saja sumringah.
“Iya dong, Ran. Kan kita ga mau kalah sama bule,” kata ibu bertubuh gempal dengan lipatan leher yang terlihat jelas. Rana pun meresponnya dengan tertawa riang, seolah-olah itu adalah lelucon terbaik yang pernah ia dengar.
“Mau kemana Ran? Ngampus?” tanya Bu Indah lagi sambi sesekali mengusap kening bayinya yang halus.
“Begitulah, Bu. Ada 3 mata kuliah hari ini,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oke deh. Hati-hati ya,” ujar Bu Indah seraya berdiri perlahan. Meski berbadan besar, ia tampak tidak terbebani dengan berat badannya. Rana mengangguk mantap sambil berbelok ke arah timur, jalan yang paling nyaman menuju kampus. Di sebelah timur itu pula jalan tempat warung fotokopi Maju Jaya berada.
Fotokopi Maju Jaya bukanlah jenis warung fotokopi yang rapi dan tertata. Seakan maklum dengan padatnya kegiatan setiap hari, pemilik, karyawan dan para pelanggan sudah terbiasa dengan situasi kapal pecah ini. Dua mesin fotokopi besar yang terlihat jelas dari luar tampak dipenuhi kertas dan berdebu. Tumpukan kertas, buku-buku pelajaran dan makalah hasil fotokopi menumpuk di sana sini. Kertas-kertas bekas juga bertebaran dimana-mana, termasuk diatap mobil kijang 90-an milik Pak Amru, pemilik warung fotokopi Maju Jaya. Menambah sumpeknya warung, empat komputer rakitan yang juga berdebu ditempatkan di sisi dalam. Selain jasa fotokopi, warung ini juga berfungsi sebagai rental komputer dan menjual berbagai ATK.
Mata Rana tertuju pada etalase kecil yang memamerkan alat tulis yang kurang lengkap dan berantakan. “Ehem, pagi Pak Amru,” sapanya riang.
“Eh, Ran. Pagi. Mau beli pensil lagi? Bukannya kamu baru kemarin beli dua pensil,” jawab Pak Amru sambil merapikan beberapa buntelan fotokopi. Sesekali matanya melirik dua karyawannya yang sedang bersih-bersih seadanya sebelum mulai bekerja.
Rana sedikit tersipu, ada perasaan tidak enak ditanya seperti itu. Karena sesungguhnya ia memang tidak tahu mengapa ia mampir ke warung fotokopi sepagi ini.
“Emm, masih ada kok Pak pensilnya. Hanya mau menyapa saja,” Rana mempertahankan senyumnya untuk menutupi perasaan salah tingkah.
“Ooh, begitu toh. Hahaha,” Pak Amru menggelengkan kepalanya. Laki-laki setengah baya itu masih sibuk memegang buntelan. Rana kembali tersenyum-senyum, menunggu ucapan lagi dari Pak Amru. Sayangnya ia hanya terdiam setelah itu, membuat Rana semakin linglung.
Gadis itu hanya menuruti kata hatinya. Meresponnya dengan tanggap. Pagi ini seperti hari-hari biasanya Rana ingin berada di warung fotokopi sejenak sebelum menuju kampus. Tidak ada buku yang ingin ia fotokopi atau alat tulis yang ingin ia beli. Karena memang bukan itu alasannya. Ada alasan lain yang jauh lebih kuat daripada itu.
“Eh, ada Mbak Rana,” sapa sebuah suara berat di belakangnya. Rana tersentak. Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat.
“Iya Mas Po. Baru datang nih?” Gadis itu menyapa laki-laki itu sambil meremas tangannya kuat-kuat.
“Iya nih. Jadi ngga enak aku sama Pak Bos,” Po melirik Pak Amru Jenaka. Ia juga mengedipkan mata ke arah dua temannya.
BUKK! Terdengar suara benda tumpul membentur sesuatu. Kemudian semua mata mengarah kepada Po yang terhenyak. Lelaki berambut gondrong itu diam karena kaget.
“Hahahhaha! Kualat kowe!” sembur Adi, salah seorang karyawan Pak Amru. Tawa Adi memicu tawa keras Pak Amru dan juga Ramon, karyawan Pak Amru yang paling muda. Sementara Rana hanya cekikikan sambil menutupi mulutnya.
Po sendiri hanya tersenyum kecut sambil memungut dua buah bundel TOEFL berhalaman tebal yang tadi mengenai bahunya. Ternyata ia tak sadar menyenggol rak kayu yang sudah doyong dan menyebabkan kedua bundel tadi jatuh menimpa dirinya.
“Jadi, Mbak Rana mau potokopi apa pagi ini?” Po menawarkan senyum terkembangnya. Mengintip dari dalam mulutnya, bekas dua gigi kelinci yang telah tanggal. Po bergigi ompong dan Rana sudah tahu itu.
“Heehh. Malah godain cewek. Cepetan sini bantuin,” kata Adi lagi. Sementara Pak Amru hanya geleng-geleng sambil berjalan menuju meja yang sudah tersedia empat buah cangkir kopi diatasnya.
“Ada yang mau difotokopi, Mbak?” Po bertanya lagi, tak menghiraukan Adi.
“Err, ngga ada kok, Mas. Saya cuma mampir aja. Menyapa sebentar sebelum kuliah,” Rana menarik dua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman manis. Ia mengira-ngira sudah cukup maniskah ia tersenyum?
“Hoo, tak kira ada yang mau dikopi. Baiklah Mbak, selamat berkuliah,” jawab Po sambil menunjukkan gigi ompongnya sekali lagi. Tangannya bergerak memutar topi baseball-nya dengan posisi cap di bagian belakang kepala.
“OK. Terima kasih, Mas Po, Pak Amru dan semuanya. Mari,” kata Rana menutup pertemuan pagi itu. Ia tak hanya berterima kasih pada Po, namun juga semua yang ada di warung fotokopi itu. Kini hatinya membuncah bahagia. Ada semburan kehangatan yang berasal dari jantung menuju urat-urat nadi yang tak bisa ia hitung jumlahnya.
***
Entah sejak kapan Rana pertama kali bertemu dengan Po. Tidak ada kisah berkesan seperti kisah-kisah romantis. Tidak ada kisah Rana yang terpeleset dan jatuh menimpa Po. Tidak ada juga kisah sapu tangan Rana yang tertinggal kemudian dikembalikan Po. Semuanya berjalan seperti adegan biasa-biasa saja yang memang biasa terjadi pada kehidupan nyata orang-orang biasa. Rana pergi ke warung fotokopi Maju Jaya untuk menggandakan beberapa lembar kertas atau hanya sekedar membeli alat tulis dan berurusan dengan komputer dan printer butut.
Berulang kali adegan seperti itu Rana lakukan hingga ia tak bisa menghitung sudah berapa kali ia berkunjung ke Maju Jaya dan bertemu dengan Po. Ia sudah tidak bisa mengingat pada pertemuan keberapa pipinya pertama kali bersemu, hatinya berdebar lebih nyaring dan pikirannya membuat ledakan terang yang menghasilkan nama Po terpampang di setiap organ dalamnya. Seperti papan promosi restaurant dengan puluhan lampu kerlap kerlip, seperti itulah nama Po hadir dan terukir.
Sejak saat itu Rana tak bisa mengelak lagi. Setidaknya kepada dirinya sendiri. Ia jatuh cinta kepada Po, laki-laki bergigi ompong yang bekerja di warung fotokopi Maju Jaya. Tidak ada alasan jelas mengapa ia jatuh hati kepadanya. Terkadang cinta memang tidak butuh alasan, Cinta hanya butuh perhatian agar bisa berkembang.
Rana merawat cintanya dengan sepenuh hati. Dalam kesehariannya ia berusaha agar sering terlibat dengan urusan yang terkait dengan fotokopi. Ia rela menjadi tangan kanan ketua kelas dengan spesialisasi bidang fotokopi. Karena selalu ada alasan untuk pergi ke warung fotokopi, akhirnya Rana dijuluki Gadis Fotokopi. Wajahnya seolah sudah identik dengan mesin besar pengganda kertas dan bundel-bundel mata kuliah yang sudah digandakan. Dan entah sudah terobsesi atau hanya ingin dibilang ‘terobsesi’, untuk tugas Kuliah Kerja Sosial semester depan, Rana malah ingin magang sebagai tukang fotokopi bukannya menjadi guru di desa terpencil seperti teman-teman sekelasnya.
Sejak saat itu Rana tak bisa mengelak lagi. Setidaknya kepada dirinya sendiri. Ia jatuh cinta kepada Po, laki-laki bergigi ompong yang bekerja di warung fotokopi Maju Jaya. Tidak ada alasan jelas mengapa ia jatuh hati kepadanya. Terkadang cinta memang tidak butuh alasan, Cinta hanya butuh perhatian agar bisa berkembang.
Rana merawat cintanya dengan sepenuh hati. Dalam kesehariannya ia berusaha agar sering terlibat dengan urusan yang terkait dengan fotokopi. Ia rela menjadi tangan kanan ketua kelas dengan spesialisasi bidang fotokopi. Karena selalu ada alasan untuk pergi ke warung fotokopi, akhirnya Rana dijuluki Gadis Fotokopi. Wajahnya seolah sudah identik dengan mesin besar pengganda kertas dan bundel-bundel mata kuliah yang sudah digandakan. Dan entah sudah terobsesi atau hanya ingin dibilang ‘terobsesi’, untuk tugas Kuliah Kerja Sosial semester depan, Rana malah ingin magang sebagai tukang fotokopi bukannya menjadi guru di desa terpencil seperti teman-teman sekelasnya.
Matahari meninggi di kota Ciputat. Sinarnya membuat efek panas menyengat seperti yang dibuat api. Beberapa orang berkomentar usil, “Neraka bocor.” Entah bagian dari neraka yang mana yang bocor sehingga sebagian kecil hawa neraka sudah dirasakan di Ciputat. Rana termasuk orang yang menyetujui komenter usil itu. Beberapa kali ia menyeka peluh dengan tangannya yang justru sudah berkeringat. Rasanya percuma saja jika ia memilih menyeka permukaan lembab dengan sesuatu yang lembab pula.
Hari itu perjalanan menuju Fotokopi Maju Jaya terasa dua kali lipat lebih jauh dari biasanya. Rana berjalan sedikit tersaruk. Sedikit berlebihan jika ia berpikir akan mati hanya karena menempuh perjalanan 10 menit dengan membawa dua buku yang harus difotokopi dibawah teriknya matahari. Kalaupun ia pingsan dan mati, ini tentu karena kesalahannya sendiri sudah memilih warung fotokopi Maju Jaya yang lebih jauh daripada warung fotokopi lainnya di sekitar kampus.
“Hai, Mas,” Rana menyapa dengan suara lemas. Bibirnya kering menandakan dehidrasi.
“Eh, Mbak Rana. Duduk sini, Mbak. Apa mau minum dulu?” Ramon yang menyapa dari balik kardus yang berisi tumpukan kertas.
Rana terkekeh, “Engga usah, Mas. Saya cuma mau potokopi kok. Dua bundel ini masing-masing dijadikan 33 jilid yah.” Mata Rana menatap sekeliling warung yang kondisinya masih tetap sama.
“Oke, siap. Mau diambil kapan nih, Mbak? Paling cepet sih besok siang ya. Lagi banyak kerjaan soalnya,” ujar Ramon sambil menimang-nimang dua buku kuliah yang tadi diserahkan Rana kepadanya.
“Santai, Mas Ramon,” jawab Rana yang lagi-lagi melayangkan pandangannya ke sudut-sudut warung fotokopi itu. Sepi.
“Nyari siapa, Mbak?” tanya Ramon. Lelaki yang baru lulus SMA itu tidak menyadari jika dirinya sudah membuat Rana tersipu.
Baru saja gadis itu akan menjawab, Ramon sudah menyerocos dengan semangat. Ia bercerita kalau saat itu warung memang sedang sepi. Pak Amru dan istrinya sedang pergi ke Kuningan untuk mengunjungi putranya yang sedang mengenyam pendidikan di pesantren. Sementara Po dan Adi tengah berbelanja barang kebutuhan warung.
“Yah begitulah ceritanya Mbak kenapa sekarang aku sendirian,” Ramon menutup ceritanya diiringi suara steples terakhir dari 15 makalah tipis yang sudah ia gandakan siang itu.
Rana tersenyum. Meskipun Po sedang pergi, ia merasa terhibur dengan adanya Ramon. Pada dasarnya ia memang menyenangi seluruh karyawan warung Fotokopi Maju Jaya termasuk Pak Amru dan istrinya. Seperti Ramon, Adi, Pak Amru dan istrinya adalah orang-orang yang enak untuk diajak ngobrol. Mereka memiliki hati yang hangat untuk berteman dengan orang lain. Tak heran jika rasanya mereka cocok sekali bekerja di bidang pelayanan jasa seperti ini.
“Ya ampun, kasihan. Semangat ya Mas. Walaupun sendirian kan tetap bahagia ditemenin sama kopi susu,” Rana mengerlingkan mata ke arah kopi susu yang masih penuh di meja penganan. Sementara itu Ramon terkekeh.
“Yaudah deh, Mas Ramon,” Rana mulai berkata lagi. Ia ingin menyudahi obrolannya. “Saya balik ke kampus dulu ya. Besok siang saya ambil bukunya.”
“Sip, Mbak!” Ramon mengacungkan jempol kanannya.
“Oke, Mas. Makasih ya,” ujar Rana melambaikan tangan sebelum membaurkan diri kembali ke jalan yang penuh dengan hawa terik dan menyengat.
***
Satu hal yang Rana sukai dari kampusnya adalah kegiatannya yang tak pernah sepi. Para mahasiswa selalu memiliki sesuatu untuk dilakukan, walaupun hanya sekedar nongkrong dan minum kopi. Namun ide-ide cemerlang justru lahir dari kegiatan sepele seperti itu. Salah satu contohnya adalah kelompok Diskusi Buku. Kelompok yang beranggotakan orang-orang yang maniak buku ini pada awalnya tidak memiliki banyak kegiatan yang berarti, bahkan hingga kini pun begitu. Mereka hanya senang mengobrol tentang buku-buku yang pernah mereka baca. Jadwal diskusi pun tidak rutin, kadang seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Hal yang cukup mengejutkan ketika kelompok itu selalu saja mendapat anggota baru setiap bulan. Hal-hal yang tadinya tidak rutin pun menjadi rutin, sehingga mereka memutuskan untuk resmi membuat kelompok baru di kampus.
Kini Diskusi Buku tidak hanya terkenal se-seantero kampus Rana, namun juga di dunia penerbit. Para penerbit mulai senang mengirim buku-buku mereka yang baru terbit untuk dibaca dan didiskusikan oleh Diskusi Baca. Dan biasanya hasil diskusi dirampungkan dalam bentuk resensi yang kemudian dimuat di media massa. Banyak senior di kalangan penulis dan penerbit yang mengacungkan jempol untuk setiap resensi yang keluar dari kelompok Diskusi Baca.
Rana juga termasuk orang yang kagum dengan kelompok tersebut. Jalannya agak terhuyung ketika ia berlama-lama melirik kelompok itu di taman rindang dekat gedung rektorat.
“Hey, buruan jalannya, berat nih. Ngeliatin apa sih lo?” seru Abel, teman sekelasnya. Cowok putih bertubuh tambun itu tampak tersiksa membawa dua buah kardus berisi bundel-bundel buku kuliah yang baru saja mereka ambil dari Maju Jaya.
“Eh iya, Bel. Maaf ya,” Rana nyengir. Ia memamerkan gigi serinya.
Abel mendengus, “Lo sih enak cuma bawa enam buku. Gue nih bawa enam puluh buku.”
Rana cemberut meski dalam hati ia merasa kasihan kepada Abel yang sudah membantunya mengambil buku-buku hasil fotokopian ini dari Maju Jaya. Lirikan matanya mulai meninggalkan kelompok Diskusi Buku yang sedang seru. Tak mau jauh ketinggalan dari Abel, lantas Rana menjajaki langkah cepat berusaha menyamai Abel. Ia ingin membujuk Abel agar menyudahi uring-uringannya. Ia juga berpikir akan menyogoknya dengan semangkuk tekwan di kantin gedung A.
Sebenarnya Rana tak terlalu ambil pusing soal Abel. Yang ia pikirkan hanyalah hatinya yang berdebar riang sejak bertemu dengan Po tadi. Selalu begitu keadaannya; datangkan ia seorang Po dan jadilah detak jantung berdebar dua kali lebih kuat.
“Po!” Rana menyebut nama si Ompong itu dalam hati.
Warung Fotokopi Maju Jaya ramai seperti biasa. Tiga karyawan dengan satu bos besar sibuk mondar mandir melayani urusan pelanggan lama dan baru. Lelah memang, namun pekerjaan ini mereka lakukan dengan riang hati. Po bersiul-siul. Ia memang senang bersiul ketika melakukan pekerjaan. Menurutnya hal ini dapat membunuh rasa bosannya akan ritme kerjanya yang sama setiap saat. Namun siulan kali ini terdengar berbeda. Melalui siulannya Po terdengar lebih ceria daripada biasanya.
“Seneng amat, Mas Po,” sapa Rana yang baru saja datang. Ia mencoba mencari tahu makna dari siulan riang pujaan hatinya itu.
“Iya nih, Mbak. Saya kan mau pulang kampung malam ini. Yang pasti seneng banget. Wong saya jarang pulang. Gak punya duit, hehe,” jawab Po sambil memotong kertas fotokopi sesuai permintaan pelanggan.
“Soalnya dia kan mau kawin, Mba Rana,” celetuk Adi dari bagian belakang warung. Rana pun terdiam. Po akan menikah!
“Mas Po.. Mau n...nikah? Ciee...” Rana berusaha terdengar ceria. Ia tak ingin Po dan juga yang lainnya mengetahui maksud hatinya.
Po tersipu. Ia menerima ledekan itu dengan senang hati, tanpa membantah. Rana agak kaget dengan hal ini. Jika Po tersipu dan tidak berusaha mengelak, berarti... Ia benar-benar akan berumah tangga! Lalu bagaimana dengan dirinya?? Gadis yang diam-diam mencintai dan mengaguminya sepenuh hati.
“Saya kan sudah tua, Mbak. Sudah tiga puluh satu tahun lho saya ini. Menurut saja jika ibu yang menjodohkan. Karena saya sadar jika saya pun sudah ingin berkeluarga. Maka saya tidak menolak perjodohan ini,” kata Po dengan suara pelan. Sorot matanya menyampaikan permohonan maaf.
Po memang tidak pernah tahu jika Rana ada hati kepadanya. Namun perasaannya mengatakan bahwa Rana memiliki perasaan yang tidak penah Po sendiri rasakan.
“Sadar lu kalo udah tua,” ledek Adi dengan senyum jailnya. Po menyikut bahunya.
Rana tersenyum tanpa makna. Ia tetap bertahan agar tangisnya tidak jebol di muka umum. “Wah, selamat ya Mas Po. Semoga langgeng,” ujar Rana sambil menggerakkan sudut-sudut bibirnya keatas. Ia ingin tersenyum lagi.
“Amin. Terima kasih ya, Mbak Rana,” jawab Po sambil menyerahkan beberapa kertas makalah hasil fotokopi.
“Jadinya tiga ribu rupiah aja kan ya, Mas? Ini mas uangnya, kembaliannya ambil aja ya,” ujar gadis itu seraya bergegas meninggalkan Maju Jaya. Sesaat ia merasa tidak sanggup lagi berpijak.
Rana merasa menyesal sekali ia tidak mau mengumbar perasaannya kepada Po ataupun siapapun. Sehingga beginilah kejadiannya; Po pergi dan akan kembali bersama seorang wanita yang akan mendampinginya selamanya.
Rana kembali merasa linglung. Ia hanya bisa terus-terusan menatap atap kamarnya yang dicat biru muda. Perlahan air matanya turun diikuti isakan. Ia ingin Po menjadi miliknya. Ia ingin laki-laki gondrong dan bergigi ompong itu mengajaknya kawin lari dan jalan-jalan kemana pun ia suka. Namun Rana sadar bahwa hal-hal itu tidak akan mungkin terjadi seperti harapannya. Ia kembali terisak.
Ompong.
Hati ini seperti lubang galian yang ompong.
Sebab cinta dan kepalan yang bolong
Ompong.
“Seneng amat, Mas Po,” sapa Rana yang baru saja datang. Ia mencoba mencari tahu makna dari siulan riang pujaan hatinya itu.
“Iya nih, Mbak. Saya kan mau pulang kampung malam ini. Yang pasti seneng banget. Wong saya jarang pulang. Gak punya duit, hehe,” jawab Po sambil memotong kertas fotokopi sesuai permintaan pelanggan.
“Soalnya dia kan mau kawin, Mba Rana,” celetuk Adi dari bagian belakang warung. Rana pun terdiam. Po akan menikah!
“Mas Po.. Mau n...nikah? Ciee...” Rana berusaha terdengar ceria. Ia tak ingin Po dan juga yang lainnya mengetahui maksud hatinya.
Po tersipu. Ia menerima ledekan itu dengan senang hati, tanpa membantah. Rana agak kaget dengan hal ini. Jika Po tersipu dan tidak berusaha mengelak, berarti... Ia benar-benar akan berumah tangga! Lalu bagaimana dengan dirinya?? Gadis yang diam-diam mencintai dan mengaguminya sepenuh hati.
“Saya kan sudah tua, Mbak. Sudah tiga puluh satu tahun lho saya ini. Menurut saja jika ibu yang menjodohkan. Karena saya sadar jika saya pun sudah ingin berkeluarga. Maka saya tidak menolak perjodohan ini,” kata Po dengan suara pelan. Sorot matanya menyampaikan permohonan maaf.
Po memang tidak pernah tahu jika Rana ada hati kepadanya. Namun perasaannya mengatakan bahwa Rana memiliki perasaan yang tidak penah Po sendiri rasakan.
“Sadar lu kalo udah tua,” ledek Adi dengan senyum jailnya. Po menyikut bahunya.
Rana tersenyum tanpa makna. Ia tetap bertahan agar tangisnya tidak jebol di muka umum. “Wah, selamat ya Mas Po. Semoga langgeng,” ujar Rana sambil menggerakkan sudut-sudut bibirnya keatas. Ia ingin tersenyum lagi.
“Amin. Terima kasih ya, Mbak Rana,” jawab Po sambil menyerahkan beberapa kertas makalah hasil fotokopi.
“Jadinya tiga ribu rupiah aja kan ya, Mas? Ini mas uangnya, kembaliannya ambil aja ya,” ujar gadis itu seraya bergegas meninggalkan Maju Jaya. Sesaat ia merasa tidak sanggup lagi berpijak.
Rana merasa menyesal sekali ia tidak mau mengumbar perasaannya kepada Po ataupun siapapun. Sehingga beginilah kejadiannya; Po pergi dan akan kembali bersama seorang wanita yang akan mendampinginya selamanya.
Rana kembali merasa linglung. Ia hanya bisa terus-terusan menatap atap kamarnya yang dicat biru muda. Perlahan air matanya turun diikuti isakan. Ia ingin Po menjadi miliknya. Ia ingin laki-laki gondrong dan bergigi ompong itu mengajaknya kawin lari dan jalan-jalan kemana pun ia suka. Namun Rana sadar bahwa hal-hal itu tidak akan mungkin terjadi seperti harapannya. Ia kembali terisak.
Ompong.
Hati ini seperti lubang galian yang ompong.
Sebab cinta dan kepalan yang bolong
Ompong.
Gigi yang ompong membuat hati menjadi bolong-bolong seperti membuat kaus oblong.
Ompong-ompong-ompong....
Semoga aku tidak menangis kosong...
Karena cinta yang melompong
Dan karena sepatu yang bolong
Terimakasih,
Rana
Ompong-ompong-ompong....
Semoga aku tidak menangis kosong...
Karena cinta yang melompong
Dan karena sepatu yang bolong
Terimakasih,
Rana
Hiks .. endingnya tega amat ya hiks
BalasHapusCerpennya ngalir banget, asik dinikmati, lancar meluncur mulus walau tema yg diangkat simpel. Asik dibaca, asal endingnya jgn sedih gitu dong hiks. Ayo kawin lari aja tuh Rana dan Po.
Good job deh buat kamu.
Konsep ceritanya sederhana, namun alurnya sudah bagus.. Endingnya juga tidak disangka..
BalasHapusBagus deh,, hehhe.. :D
uhuk.
BalasHapusSuka dengan penceitaannya, dan lumayan panjang nih jadi asyik dibacanya. Ada klimaksnya pula. Sip :)
iya, bahasanya ngalir. Suka :)
BalasHapusTebakanku yg nulis Mb Dhila *semata-mata karena settingnya Jakarta* haha...
Aaa.. sedih amat :(
BalasHapusTapi suka sih, sama jalan ceritanya. Walau mungkin ada beberapa adegan yang sebenernya enggak perlu, seperti saat Rana enggak ketemu Po malah ketemu Ramon.
Mungkin bisa "diperjelas" soal niat Rana ketemu Po.
Ceritanya baguuus :) Kayaknya curiga Dhila yang ngarang karna dulu alumni kampus Ciputat XD btw Diskusi Buku beberapa kali disebut Diskusi Baca. Mungkin nggak sengaja :)
BalasHapuskasihan amat cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi deskripsinya panjang-panjang yah
BalasHapus