Minggu, 02 Februari 2014

Pengabdian

Hafshah merasa ingin mengeluh. Sudah beberapa hari, dia merasa kesal. Pekerjaannya sebagai seorang pustakawan di sebuah perpustakaan swadaya milik sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki visi ingin mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa di kawasan pinggiran perkotaan memang melelahkan. Apalagi penghasilannya dari mengelola pepustakaan itu memang tak terlalu besar, dan dia bekerja seorang diri. LSMnya memang tak terlalu besar, kebanyakan dananya masih bersumber swadaya. Kalau pun ada sumbangan, masih kecil.

Perpustakaan tempatnya berkerja, berlokasi di sebuah rumah kontrakan di kawasan padat penduduk, di mana sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan tekstil raksasa. Perpustakaan tersebut memiliki stok kebanyakan buku anak-anak, dan buku-buku fiksi. Peminjamnya memang kebanyakan adalah anak-anak buruh yang tinggal di sekitar perpustakaan. Tak ada sewa yang dikutip dari peminjam. Perpustakaan hanya mengajarkan nilai-nilai amanah untuk peminjam. Sering memang buku yang dipinjam hilang tak berbekas, tapi itulah risiko untuk perpustakaan yang meminjamkan gratis. Beberapa buku sumbangan yang mahal dan langka hanya disediakan untuk dibaca di tempat. 

Yang dikeluhkan Hafshah adalah dia merasa terbebani dengan pekerjaannya. Hafshah sendiri hanyalah lulusan SMA, dan tak bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang kuliah. Ayahnya sudah meninggal ketika Hafshah menginjak usia SMP. Ibunya hanya seorang asisten rumah tangga di keluarga menengah, sehingga penghasilannya pun tak begitu besar. Dia mendapatkan pekerjaan itu karena perkenalannya dengan Bayu, kakak teman dekatnya selama sekolah, Raina. Bayu sendiri adalah ketua LSM tersebut.

Siang itu panas, Hafshah sedikit mengeluh. Anak-anak yang kumpul di perpustakaan mengeluarkan suara yang berisik. Tiba-tiba berkelebat sosok Bayu yang baru datang. “Kenapa Sha, ko merenggut terus?”, celetuk Bayu. “Itu mas, anak-anak, rame terus, nggak bisa diatur”, balas Hafshah, tetap merenggut. “Ya biarin aja Sha, namanya juga anak-anak. Lagian kasian wajahmu kalau dipakai merengut terus.” Bayu menimpali. 

Hafshah tambah merengut, ”Mas Bayu nggak bisa serius nih”. ”Lho, bener kan, kalau merenggut terus, nggak kelihatan cantiknya, kan kasihan” ujar Bayu. ”Memang ada apa sebenarnya, Sha? Hal seperti ini kan sering kau jumpai sehari-hari. Hafsha awalnya berpikir apakah berterus terang, dan akhirnya memilih untuk jujur."

”Jujur mas, sebenarnya aku suntuk. Pekerjaan begini-begini saja. Dan maaf, honor yang aku terima tak terla...lu besar.” Meski agak malu, tapi Hafshah lega akhirnya bisa mengeluarkan isi hatinya.

Bayu cuma bisa tersenyum, mendengarkan ungkapan isi hati Hafshah. Dia membenarkan, bahwa apa yang bisa diberikan LSM kepada Hafshah memang sekadarnya, tak bisa mencukupi hidup seorang gadis apalagi gadis yang bercita-cita ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang membutuhkan biaya yang lebih tinggi.

”Sebelumnya mas minta maaf kepada Hafshah karena cuma bisa memberikan sekedarnya. Kita memang tergantung kepada keuangan teman-teman semua. Donasi yang datang pun seadanya, beruntung LSM kita masih bisa hidup”. Bayu bercerita.

”Sebenarnya apa yang teman-teman lakukan di sini hanyalah berlandaskan pengabdian semata. Syukur-syukur ada manfaat yang bisa didapatkan dari masyarakat sekitar. Mas ingin, kita tak hanya diam saja menghadapi apa yang terjadi di masyarakat. Meskipun kecil, tetap ada nilai positifnya. Cuma karena berlandaskan pengabdian bukan profit oriented, apa yang bisa kita berikan ke Sha, cuma sekadarnya. Mas mohon maaf kalau selama ini belum bisa memberikan penghargaan yang lebih layak."

”Hmm, kenapa sih mas, mau bersusah payah menghidupi LSM ini?” tanya Hafshah.

”Maksudnya, mas Bayu kan bisa bekerja di perusahaan besar. Raina bilang mas Bayu lulus perguruan tinggi terkenal dengan predikat cum laude. Tentunya mudah mencari pekerjaan.” lanjutnya. Bayu hanya bisa tersenyum.

”Kalau bekerja di perusahaan apakah kita bisa berbuat lebih, Sha? Maksud mas, kita hidup di tengah masyarakat, tapi kalau kita cuek saja dengan masyarakat yang ada, cuma diam saja, apa pertanggungjawaban yang akan kita berikan kepada Tuhan?"

"Mungkin ini idealisme semata. Tapi masa manusia nggak boleh punya idealisme? Meski kecil, semoga apa yang dilakukan mas dan teman-teman bisa menjadikan masyarakat menjadi lebih baik.”

Hafshah merenung. Dalam sekali perenungannya.

Setelah sekian menit dia berujar, ”Iya mas, tapi Hafsha juga punya cita-cita. Hafshah ingin kuliah, mengejar karir, dan membahagiakan ibu Hafshah”.

Bayu tersenyum.

”Itu tak salah Sha, semua orang punya cita-cita dan wujudkanlah cita-citamu semaksimal mungkin, selama cita-citamu tak bertentangan dengan nilai-nilai moral, masyarakat atau agama. Tapi mas mau selama Hafsha di sini, kerjakan apa yang menjadi tugas Hafsha, dengan senyuman, dengan ketulusan. Semoga apa yang Hafsha sudah berikan ke masyarakat semoga menjadi alasan buat Tuhan memberikan yang lebih baik buat Hafshah. Dan Hafshah bisa mewujudkan cita-citanya dengan rezeki yang diberikan Tuhan. Itu akan lebih besar dari sekedar apa yang bisa kita berikan kepada Hafsha.”

”Mbak, aku pinjam komik ini!” Seorang anak kecil menyela mereka, sambil memberikan sebuah komik kepada Hafsha, sambil tersenyum.

”Adik suka baca, ya?” tanya bayu kepada anak itu.

”Iya kak, suka sekali.” Si anak membalas dengan senyum bahagia.

”Nah Sha, adik kecil ini bisa bahagia, meski hanya bisa meminjam. Semoga kamu juga bisa membahagiakan dirimu dengan membahagiakan mereka. Coba layani dengan senyum dan semoga akhirnya kamu bisa tersenyum.”

Hafsha hanya bisa tergelak, sambil mencatatkan pinjaman sang anak ke form di buku daftar pinjaman.

”Iya, Mas, Hafsha sudah bisa tersenyum nih, gak perlu tersenyum di kemudian, sekarang pun sudah tersenyum.”
 
***

6 komentar:

  1. idealisme vs pragmatisme ... sering yg menang pragmatisme.. tapi aku suka mikir gimana caranya biar dua dua nya balance.. :D

    BalasHapus
  2. Rasanya....cerita ini semestinya lebih panjang lagi. Ato semestinya bagian dari sebuah novel ya. Abis berasa gak ada ending untuk si Hafsha.

    Btw....kalo cerpen yg kedua fokus di setting lokasi, yg ini kerasa minim setting

    BalasHapus
  3. kurang panjang *dikeplak
    namanya juga unik ya, Hafshah. itu di akhir akhir berubah jadi Hafsha, typo apa memang diringkas ya?

    BalasHapus
  4. Menurutku sudah pas kok, dalam beberapa paragraf pendek tapi maknanya kita langsung dapet. Bagian adik kecil yang tersenyum itu yang paling ngena. Temanya bagus, nilai moralnya klop, penulisannya rapi. SIPPO

    Hanya saja, itu pemaparannya si Bayu terlalu mengurui pembaca soalnya nasehatnya dipaparkan langsung frontal, pdhal si Hafshah ini kalao saya liat2 karakternya agak2 mandiri dan tidak gampang dinasehati. Paling bagus sih lewat contoh aja, biar pembaca menyimpulkan sendiri nilai moralnya.

    Good story

    BalasHapus
  5. Aku malah enggak dapet feel-nya.
    Kalimat-kalimat awal di cerpen ini enggak bikin aku penasaran, malah pengen langsung skip-skip >,<
    Terus, aku juga berasa kurang panjang. Kayak ada yang terpotong. Apakah terkena guntingan editor? :matabelo:
    Ide ceritanya bagus, mungkin bisa dieksplor lagi

    BalasHapus
  6. Ini menurutku jadi semi-semi penyuluhan gitu ya hihi...soalnya banyak pemaparan fakta dibanding narasi... tapi idenya sih bagus.

    BalasHapus

 
Rumah Cerita - Blogger Templates, - by Templates para novo blogger Displayed on lasik Singapore eye clinic.